Sabtu, 15 Januari 2011

Biografi Syekh Ibnu Araby

Ibnu 'Araby (Arab: نبأ يبرع )
bernama lengkap Muhammad
bin Ali bin Muhammad bin
Ahmad bin Ali bin Abdullah
bin Hatim . Ia biasa dipanggil
dengan nama Abu Bakr, Abu
Muhammad dan Abu
Abdullah. Namun gelarnya
yang terkenal adalah Ibnu
'Araby Muhyiddin, dan al-
Hatamy. Ia juga mendapat
gelar sebagai Syeikhul Akbar,
dan Sang Kibritul Ahmar.
Ibnu 'Araby dikenal luas
sebagai ulama besar yang
banyak pengaruhnya dalam
percaturan intelektualisme
Islam. Ia memiliki sisi
kehidupan unik, filsuf besar,
ahli tafsir paling teosofik, dan
imam para filsuf sufi setelah
Hujjatul Islam al-Ghazali. Lahir
pada 17 Ramadan 560 H/29 Juli
1165 M, di Kota Marsia,
ibukota Al-Andalus Timur (kini
Spanyol),
Tumbuh besar di tengah-
tengah keluarga sufi, ayahnya
tergolong seorang ahli zuhud,
sangat keras menentang hawa
nafsu dan materialisme,
menyandarkan kehidupannya
kepada Tuhan. Sikap demikian
kelak ditanamkan kuat pada
anak-anaknya, tak terkecuali
Ibnu 'Araby. Sementara ibunya
bernama Nurul Anshariyah.
Pada 568 H keluarganya
pindah dari Marsia ke Isybilia.
Perpindahan inilah menjadi
awal sejarah yang mengubah
kehidupan intelektualisme
'Araby kelak; terjadi
transformasi pengetahuan dan
kepribadian Ibnu 'Araby.
Kepribadian sufi,
intelektualisme filosofis, fikih
dan sastra. Karena itu, tidak
heran jika ia kemudian dikenal
bukan saja sebagai ahli dan
pakar ilmu-ilmu Islam, tetapi
juga ahli dalam bidang
astrologi dan kosmologi.
Meski Ibnu 'Araby belajar
pada banyak ulama, seperti
Abu Bakr bin Muhammad bin
Khalaf al-Lakhmy, Abul Qasim
asy-Syarrath, dan Ahmad bin
Abi Hamzah untuk pelajaran
Alquran dan Qira'ahnya, serta
kepada Ali bin Muhammad
ibnul Haq al-Isybili, Ibnu
Zarqun al-Anshary dan Abdul
Mun'im al-Khazrajy, untuk
masalah fikih dan hadis
madzhab Imam Malik dan Ibnu
Hazm Adz-Dzahiry, Ibnu 'Araby
sama sekali tidak bertaklid
kepada mereka. Bahkan ia
sendiri menolak keras taklid.
Ibnu 'Araby membangun
metodologi orisinal dalam
menafsirkan Alquran dan
Sunnah yang berbeda dengan
metode yang ditempuh para
pendahulunya. Hampir seluruh
penafsirannya diwarnai
dengan penafsiran teosofik
yang sangat cemerlang.
"Kami menempuh metode
pemahaman kalimat-kalimat
yang ada itu dengan hati
kosong dari kontemplasi
pemikiran.
Kami bermunajat dan dialog
dengan Allah di atas
hamparan adab, muraqabah,
hudhur dan bersedia diri untuk
menerima apa yang datang
dari-Nya, sehingga Al-Haq
benar-benar melimpahkan
ajaran bagi kami untuk
membuka tirai dan hakikat...
dan semoga Allah
memberikan pengetahuan
kepada kalian semua..." ujar
Ibnu 'Araby suatu kali.
Jalan tengah
Pada perjalanan
intelektualismenya, Ibnu
'Araby akhirnya menempuh
jalan halaqah sufi (tarekat)
dari beberapa syeikhnya.
Setidaknya, ini terlihat dari
apa yang ia tulis dalam salah
satu karya monumentalnya Al-
Futuhatul Makkiyah, yang
sarat dengan permasalahan
sufisme dari beberapa syeikh
yang memiliki disiplin spiritual
beragam. Pilihan ini juga yang
membuat ia tak menyukai
kehidupan duniawi, sebaliknya
lebih memusatkan pada
perhatian ukhrawi.
Untuk kepentingan ini, ia tak
jarang melanglang buana
demi menuntut ilmu. Ia
menemui para tokoh arif dan
jujur untuk bertukar dan
menimba ilmu dari ulama
tersebut. Tidak mengherankan
bila dalam usia yang sangat
muda, 20 tahun, Ibnu 'Araby
telah menjadi sufi terkenal.
Menurutnya, tarekat sufi
dibangun di atas empat
cabang, yakni: Bawa'its
(instrumen yang
membangkitkan jiwa
spiritual); Dawa'i (pilar
pendorong ruhani jiwa);
Akhlaq, dan Hakikat-hakikat.
Sementara komponen
pendorongnya ada tiga hak.
Pertama, hak Allah, adalah
hak untuk disembah oleh
hamba-Nya dan tidak
dimusyriki sedikitpun. Kedua,
hak hamba terhadap
sesamanya, yakni hak untuk
mencegah derita terhadap
sesama, dan menciptakan
kebajikan pada mereka.
Ketiga, hak hamba terhadap
diri sendiri, yaitu menempuh
jalan (tarekat) yang di
dalamnya kebahagiaan dan
keselamatannya.
Pada hak Allah (hak
pertama), dapat dilacak
secara sempurna pada seluruh
karya Ibnu 'Araby. Di sini,
tauhid dijadikan sebagai
konsumsi, iman sebagai
cahaya hati, dan Alquran
sebagai akhlaknya. Lalu naik
ke tahap yang tak ada lagi
selain al-Haq, yakni Allah
SWT. Karakter Ibnu 'Araby
senantiasa naik dan naik ke
wilayah yang luhur. Kuncinya
senantiasa bertambah rindu,
dan hatinya jernih semata
hanya bagi al-Haq.
Sementara rahasia batinnya
bermukim menyertai-Nya, tak
ada yang lain yang
menyibukkan dirinya kecuali
Tuhannya. Ibnu 'Araby
menggunakan kendaraan
mahabbah (kecintaan),
bermadzhab ma'rifah, dan
ber-wushul tauhid. Ubudiyah
dan iman satu-satunya dalam
pandangan 'Araby hanyalah
kepada Allah Yang Esa dan
Mahakuasa, Yang Suci dari
pertemanan dan peranakan.
Sementara hak sesama
makhluk, ia mengambil jalan
taubat dan mujahadah jiwa,
serta lari kepada-Nya. Ia
gelisah ketika kosong atas
tindakan kebajikan yang
diberikan Allah, sebagai jalan
mahabbah dan mencari ridha-
Nya. Hak ini bersumber pada
ungkapan ruhani dimana
semesta alam yang ada di
hadapannya merupakan
penampilan al-Haq. Seluruh
semesta bertasbih pada Sang
Khaliq, dan menyaksikan
kebesaran-Nya. Hak terhadap
diri sendiri adalah menempuh
kewajiban agar sampai pada
tingkah laku ruhani dengan
cara berakhlak yang
dilandaskan pada sifat-sifat al-
Haq, dan upaya penyucian
dalam taman Zat-Nya.
Kontroversial
Meski demikian, tak sedikit
yang menilai pandangan-
pandangan filsafat tasawuf
Ibnu 'Araby, terutama kaum
fuqaha' dan ahli hadis, sebagai
sangat kontroversial. Sebut
saja, misalnya, teorinya
tentang Wahdatul Wujud yang
dianggap condong pada
pantheisme. Salah satu
sebabnya adalah lantaran
dalam karya-karyanya itu Ibnu
'Araby banyak menggunakan
bahasa-bahasa simbolik yang
sulit dimengerti khususnya
kalangan awam. Karenanya,
tidak sedikit yang
mengganggap 'Araby telah
kufur, misalnya Ibnu Taimiyah,
dan beberapa pengikutnya
yang menilainya sebaga
'kafir'.
Memang pada akhirnya, Ibnu
Taimiyah menerima
pandangan Ibnu 'Araby
setelah bertemu dengan
Taqyuddin Ibnu Athaillah as-
Sakandari asy-Syadzily di
sebuah masjid di Kairo, yang
menjelaskan makna-makna
metafora Ibnu 'Araby. "Kalau
begitu yang sesat itu adalah
pandangan pengikut Ibnu
'Araby yang tidak memahami
makna sebenarnya,"
komentar Ibnu Taimiyah.
Di Indonesia, ketersesatan
memahami Ibnu 'Araby juga
terjadi khususnya di Jawa,
ketika aliran kebatinan Jawa
Singkretik dengan tasawuf
Ibnu 'Araby. Diskursus
Manunggaling Kawula Gusti
telah membuat penafsiran
yang menyesatkan di
kebatinan Jawa, yang sama
sekali tidak pantas untuk
dikaitkan dengan Wahdatul
Wujud-nya Ibnu 'Araby.
Bahkan di pulau padat
penduduk ini, sudah melesat
ke arah kepentingan jargon
politik yang menindas atas
nama Tuhan. Karena itulah,
untuk memahami karya-karya
dan wacana Ibnu 'Araby, harus
disertai tarekat secara penuh,
komprehensif dan iluminatif.
Menurut penelitian para
ulama dan orientalis, Ibnu
Araby mempunyai sedikitnya
560 kitab dalam berbagai
disiplin ilmu keagamaan dan
umum. Malah ada yang
mengatakan, termasuk
risalah-risalah kecilnya,
mencapai 2.000 judul. Kitab
tafsirnya yang terkenal adalah
Tafsir al-Kabir yang terdiri 90
jilid, dan ensiklopedia tentang
penafsiran sufistik, yang
paling masyhur, yakni
Futuhatul Makkiyah (8 jilid),
serta Futuhatul Madaniyah.
Sementara karya yang
tergolong paling sulit dan
penuh metafora adalah
Fushushul Hikam. Dalam
lentera karya dan
pemikirannya itulah, ia begitu
kuat mewarnai dunia
intelektualisme Islam
universal.



JADI YANG PERTAMA COMMENT


Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.

"Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui" Surah : Al-Baqarah 2:22