Kamis, 13 Januari 2011

Kisah Sakit Mata Imam Junaid dalam Kitab Irsyadul Ibad


Alkisah Imam Junaid al Baghdadi mengalami sakit pada kedua matanya. Setelah sekian lama mencoba pengobatan, bertemulah beliau pada seorang tabib nasrani. Tabib tersebut memeriksa dan berkata; “sakit mata ini bisa sembuh, asal tidak sampai terkena air. jadi jangan dulu membasuh matamu dengan air.”
Sampai di rumah, Imam Junaid malah menuju tempat air dan berwudlu dengan sempurna, lalu menjalankan shalat sunnah dua rakaat. Kemudian membaringkan tubuhnya di tempat tidur untuk beristirahat.
SubhanaLlaah, ketika terbangun, matanya telah sembuh seperti sedia kala. Saat itu ada suara hatif yang membisikkan kepada imam junaid, “imam junaid sembuh karena memilih ridlo Allah dibanding matanya sendiri”
Dan ketika tabib nasrani mengerahui kabar jika Imam Junaid telah sembuh, dia pun menanyakan pada beliau. Sang tabib terkejut karena obat sakit mata Imam Junaid bukan menghindari air seperti sarannya tapi justru berwudlu yang artinya membasuh wajah beserta mata dengan air. Karena takjub dengan hal itu, sang tabib pun menyatakan keimanannya, berpindah ke agama Islam. kepada tabib, Imam Junaid berkata: ” penyakit ini dari Allah bukan mahluk, maka obatnya pun dariNya”
Sungguh….cerita di atas hanya salah satu dari sekian banyak bukti manfaat dari wudlu. Wudlu, jika dilakukan dengan benar dan sempurna akan membuat wajah bersinar dan menjauhkan dari berbagai sakit. Wudlu juga bisa merontokkan kotoran-kotoran yang menempel di anggota tubuh kita. Baik kotoran nyata maupun kotoran tak nyata, yaitu dosa atau perbuatan buruk yang kita lakukan dengan anggota badan kita tersebut.
WaLlahu a’lam.
*disarikan dari pengajian kitab Irsyadul Ibad, asuhan ustad Shampton…:)*

Renungan bagi jomblowati ‘Mencintai itu adalah kewajaran’ - dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)

Tak ada yang bisa menyangkal, bahwa tidak ada seorang pun yang steril dari yang namanya cinta. Meski ia telah setingkat da’i atau da’iyah. Tak ada yang bisa mencegah datang virus itu, seperti sanandung puisi berikut:
Cinta……. Menembus ruang dan batas
Menggelora, meradang dan mematikan
Kala cinta merasuk sukma
Membekukan akal, menghempas rasa
Jika tidak karena-Nya
Kemana kan dibawa lari sekeping hati pecinta??
Kita akan bicara tentang cinta. Sesuatu yang Allah tanamkan fitrahnya pada setiap jiwa. Tapi alangkah hinanya bagi pecinta yang terbelenggu oleh cintanya.
Duhai saudariku…….
Mencintai itu adalah kewajaran……..!!! Apalagi bagi seorang wanita yang telah memasuki usia dimana kebutuhan kasih sayang dan penjagaan dari seorang lelaki sudah sangat dirindukannya.
Tapi ingatlah wahai sahabatku, janganlah engkau tanggalkan kehormatanmu dengan mengumbarnya di antara manusia. Dengan cara apapun, dengan dalih apapun, dengan susunan kata semanis apapun, sekuat apapun dorongannya jangan engkau tertipu oleh rayuan syaetan. Betapa senangnya syaetan bila manusia telath terkena panahnya. Panah yang akan membuat manusia mabuk cinta dan menjadikan halal segala cara apapun untuk mendapatkannya.
Maka jadilah sms merah jambu, surat-surat cinta, dan lainnya yang padahal bisa jadi syaetan telah mengemasnya menjadi kemasan yang akan mengundang kemurkaan Allah.
Saudariku…..
Bersabarlah di saat malam gelap gulita membekap. Bersabarlah di antara sujud panjangmu, di antara harap dan do’amu kepada Allah dengan kedatangan pangeran yang akan menjemputmu. Bersabarlah terus di antara dua lelehan air matamu karena berharap yang terbaik dariNya.
Sungguh itu lebih baik bagimu dan yang lebih Allah ridhoi daripada selainnya. Walaupun sulit, terasa berat, tidak tahan menunggu kepastiannya, namun tetaplah seperti itu, sabar, sabar dalam penantianmu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang terbaik bagimu.
Bukankah janji Allah sudah jelas:
“…… dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).” {QS. An Nuur : 26}
Terasa sulit memang….. hati itu terkadang begitu cepat berbolak balik. Terkadang ia kuat bagai benteng kokoh, tapi sering pula ia rapuh bak rumah kardus di bawah kolong jembatan. Di satu sisi kita senantiasa menginginkan tunduk pada perintah-perintah Allah, perintah menundukkan pandangan, perintah mengulurkan jilbab, perintah terus memperbaiki didi dari hari ke hari.
Namun, di sisi lain, syaetan senantiasa bergerak dan bekerja untuk menggoda manusia. Sehingga terkadang dalam penantian panjang ini ada kalnya terselip pandangan yang belum halal, ada perkataan yang belum halal, ada usaha mencari perhatian yang belum halal.
Saudariku…..
Saat ini, di tengah malam ini mari kita tengok jendela-jendela yang terbuka. Di atas ribuah sajadah, bersimpuh wanita-wanita yang sedang merindu. Tetesan-tetesan air mata mereka terus membasahi bumi, air mata mujahidah yang sangat takut tergelincir kepada kemaksiatan. Berjuta sorotan mata yang hanya ditujukan kepadaNya.
Dan engkau ….., apakah engkau termasuk bagian dari wanita bersimpuh itu, sabarlah. Benar, tidak mudah. Tapi tidak ada yang salah dengan janjiNya. JanjiNya adalah keniscayaan terindah, walau itu harus kau tebus dengan kesabaran yang berpeluh kesah. Janganlah lelah memuliakan dirimu. Bukan untuk dia, bukan utnuk dirimu sendiri.
Tapi semata hanya untuk Rabbmu. Sungguh itu bagian dari tarbiyah dengan cara yang berbeda. Dan Maha Benar Allah, lelaki mulia itu akan datang atas nama kemuliaan pernikahan. Tanpa engkau perlu teriaki, dia telah mendengar dengan kesediaan tertinggi akan seruan lembut RabbNya, yang disampaikan kepada hamba terkasih dan utusanNya.
“Wahai para pemuda, barangsiapa telah mampu di antara kalian, hendaklah ia menikah, karena ia dapat menundukkan pandangan dari menjaga……” [HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Nasa’i]
Lelaki yang senantiasa menjaga kehormatan itu pasti akan datang, lelaki yang setiap malam engkau tangisi itu pasti akan mengetuk pintu rumahmu, lelaki yang akan menjaga kehormtan yang senantiasa engkau jaga itu pasti akan menjemputmu dengan kesederhanaan dan senyuman terindah yang tetulus dari hatinya, lelaki yang akan menemanimu sholat di malam hari, menasehatimu di kala senang dan menghiburmu di kala sedih.
Adakah itu yang engkau harapkan wahai saudariku….???
Ataukah lelaki itu masih engkau harapkan datang dari kemaksiatanmu kepada Allah dan lebih dicintai oleh syaetan…..???

Cerita dari Habib Hasan bin Ja’far Assegaf (Nurul Mustafa) tentang Al Habib Abdullah bin Abdulqadir Bil Faqih bertemu dengan Nabiyullah Khidir


Aku Mendengar dari guruku, as-sayyid al-walid habibana Hasan bin ja’far assegaf,dan bliau sendiri yg mengalaminya.
suatu ketika,semasa habib Hasan di pesantren darul hadist malang, beliau dipanggil oleh gurunya untuk membuat teh 2 gelas,lalu habib Hasan bingung berfikir dalam hati beliau, kan ga ada tamu kok minta bikin 2 gelas teh…
krena printah guru bsar,beliau turuti….
Singkat cerita jadilah teh itu dibawa kehadapan guru beliau Habib Abdullah bin Abdulqadir Bil Faqih. lalu habib Hasan berfikir,klo teh itu untuk beliau berdua. Ternyata Habib Hasan disuruh keluar,ya Hasan ente boleh keluar (perkataan Habib Abdullah Bil Faqih).
lalu Habib Hasan keluar,dari kejauhan Habib menunggu tamu siapa yg akan datang. Dan lalu tiba-tiba datang tukang siomay berpakaian compang camping dengan mengenakan handuk kcil dilehernya, lalu tukang siomay itu diciumi kening dan pipinya oleh gurunya Habib Hasan. Dan tekang siomay itu memegang jenggot gurunya, dalam hati Habib Hasan bertanya-tanya siapa dia lancang sekali tidak lama kemudian, karena Habib Hasan perutnya sakit beliau menuju belakang (kamar mandi), tidak selang lama panggilan adzan datang. Lalu Habib Hasan buru-buru menuju masjid, dan ketika sebelum sampai masjid bertemu guru beliau al Habib Abdullah bin Abdulqadir bin Ahmad Bil Faqih lalu beliau bercakap-cakap dengan Habib Hasan,
“ya Hasan kmana td ente”, dg polosnya beliau jawab
“ane ke belakang bib sakit perut”,
lalu guru bliau bilang lagi,
“coba tadi ente sabar sebentar menunggu ane,ane ajak salaman ma beliau”
Habib Hasan kaget dan berkata, “kan cuma tukang siomay ya Habib”. lalu guru beliau berkata
“enak aje ente,ente liat pake kaca mata gag.itu nabi yaallah khidir yg bertamu ama ane,klo bliau pake gamis n imamah rapih,org2 pada mau salaman”
subhanallah,ini terjadi waktu tahun 80an

Manaqib Al Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al Habsyi

Manaqib Al Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al Habsyi

Para Habaib, alim ulama dan hadirin yang dimuliakan Allah, Alhamdulillah, di pagi hari ini Allah memberi kita taufik, hidayah dan inayah, sehingga kita dapat menghadiri pertemuan yang mulia ini dalam keadaan sehat wal afiat.
Shalawat serta salam, mari kita haturkan kepada baginda Muhammad, pembuka pintu rahmat, beserta segenap keluarga, sahabat dan mereka yang memperjuangkan syariat hingga hari kiamat.
Hadirin yang dimuliakan Allah, 91 tahun yang lalu Habib Ali wafat, tetapi sampai saat ini dakwah beliau masih hidup dan semakin berkembang luas. Terbukti, berkat beliau kita semua dapat bertemu di tempat ini dengan satu hati yang mengagungkan Allah. Sejak pagi hingga detik ini, lisan, telinga, hati dan seluruh anggota tubuh kita sibuk berdzikir memuliakan Allah. Tak ayal jika saat ini, guyuran rahmat membasahi hati
kita, kerumunan malaikat mengelilingi diri kita dan Allah membangga-banggakan kita di hadapan para malaikat-Nya. Dalam suasana yang penuh berkah ini, tepatlah kiranya jika kami sampaikan sekilas riwayat hidup Habib Ali, sehingga kita dapat lebih mengenal beliau. Semoga apa yang akan kita dengar bersama ini, diberkati dan bermanfaat bagi kita semua di dunia dan akhirat. Amin Allahumma Amin.
Hadirin yang dimuliakan Allah, 165 tahun yang lalu, tepatnya pada hari Jumat 24 Syawal 1259 H di Qasam, sebuah kota kecil Hadhramaut, Habib Muhammmad bin Husein Al-Habsyi beserta istrinya tercinta Hababah Alawiyah binti Husein bin Ahmad Al-Hadi Al-Jufri, dikaruniai seorang putra yang penuh cahaya.
Ketika mendengar kelahiran beliau, Habib Abdullah bin Husein bin Thohir, seorang waliyullah terkemuka yang merupakan guru Habib Muhammad bin Husein segera berkata, “Wahai Muhammad, namakan putramu Ali, dia akan mewarisi kewalian Habib Ali bin Alwi Kholi’ Qasam, yang salamnya di dalam shalat dijawab langsung oleh Nabi.” Ucapan seorang waliyullah terkemuka ini merupakan sebuah tanda dan petunjuk yang menjelaskan bahwa bayi ini kelak akan menjadi seorang wali besar.
Hari demi hari berlalu, bulan berganti tahun, Habib Ali melewati masa kecilnya di bawah asuhan dua kekasih Allah yang senantiasa berdakwah menyeru manusia ke jalan-Nya. Ketika Habib Ali berusia 7 tahun, Habib Abdullah bin Husein bin Thohir memerintahkan Habib Muhammad untuk berdakwah ke Mekah. Ayah yang penuh cinta ini, tak tega membawa putranya yang baru berusia 7 tahun untuk mengarungi padang sahara yang ganas. Beliau pun meminta istrinya tercinta untuk tetap tinggal di Qasam mengasuh Habib Ali. Kemudian bersama putra-putranya yang lain, Habib Muhammad hijrah ke Mekah dan menetap di sana.
Dengan penuh cinta, Hababah Alawiyah mendidik dan mengasuh Habib Ali. Kedekatan dengan ibu merupakan sebuah karunia yang sangat besar bagi Habib Ali. Beliau selalu memanfaatkan karunia tersebut untuk memperoleh kedudukan yang mulia di sisi Allah. Pada suatu hari beliau berkata, “Dahulu ketika mempelajari sejarah kehidupan para salaf dan kulihat sesuatu yang menakjubkan, maka segera kukatakan kepada ibuku, “Wahai ibu, hadapkanlah dirimu ke kiblat, tengadahkanlah kedua tanganmu dan berdoalah dengan doa berikut, aku akan mengaminkan doa ibu. Sebab, doa seorang ibu untuk anaknya akan segera terkabul. Katakanlah, “Ya Allah, berilah anakku Ali maqam ini… berilah anakku Ali maqam itu...” Aku pun mengamini doa beliau.
Melihat pertumbuhan Habib Ali yang sangat pesat, ayah beliau memerintahkan Habib Ali pindah ke kota Seiwun bersama ibunya untuk memperdalam dan memperluas cakrawala pengetahuan. Setelah 6 tahun menuntut ilmu di kota Seiwun, saat berusia 17 tahun, Habib Muhammad memerintahkan Habib Ali untuk belajar langsung kepadanya dan kepada beberapa ulama lainnya di kota Mekah. Meskipun merasa berat untuk berpisah dengan ibunya tercinta, Habib Ali segera memenuhi panggilan ayahnya. Sang ibu yang belum pernah berpisah dengan putranya yang saleh itu, merasakan getir perpisahan dengan anaknya.
Ketika buah hatinya sibuk menuntut ilmu di kota Mekah, Hababah Alawiyah selalu berdoa agar ia segera dipertemukan kembali dengan putranya tercinta. Maha Suci Allah, doa sang ibu sekali lagi menampakkan hasil. Allah pun menurunkan keberkahan-Nya kepada Habib Ali, hanya dalam dua tahun, Habib Muhammad telah mengizinkan Habib Ali untuk kembali ke kota Seiwun.
Kedatangan Habib Ali pun disambut penuh cita oleh Hababah Alawiyah, seorang ibu yang selalu merindukan anaknya. Mengenai kedekatan dengan ibunya ini Habib Ali ra pernah berkata: Oh andai saja aku dapat bertemu kembali dengan orang tuaku, maka akan kupersembahkan harta dan diriku kepada mereka. Ketika ibuku masih hidup, aku tidak pernah merasa memiliki uang walau hanya satu dirham, bahkan aku yakini bahwa harta dan segala sesuatu yang kumiliki adalah milik ibuku. Demi Allah, andaikata ibuku ingin menjualku di pasar, maka aku akan mengaku sebagai budaknya dan akan kupenuhi permintaannya. Pada suatu hari Habib Idrus bin Umar dan sejumlah besar wali lainnya mengadakan sebuah majelis di rumah ibuku. Tiba-tiba ibuku dengan kemauannya sendiri berkata, “Wahai hadirin sekalian, aku jadikan kalian sebagai saksi di hadapan Allah, sesungguhnya aku meridhai anakku Ali, saksikanlah bahwa aku ridha kepada anakku Ali, saksikanlah bahwa ia tidak pernah menyalahiku dalam segala hal.” Mendengar ucapan ibuku aku pun bersyukur kepada Allah dan segera berkata kepada mereka, “Saksikanlah keridhaan ibuku kepadaku, sebab kelak di hari kiamat aku akan meminta kalian untuk menjadi saksi.”
Beliau ra berkata, “Amal saleh yang paling penting adalah berbakti kepada kedua orang tua dan menyambung hubungan silaturahim. Ketahuilah, doa kedua orang tua akan segera menembus tujuh lapis langit. Barang siapa masih memiliki kedua orang tua atau salah satu dari keduanya, maka hendaknya dia berusaha untuk berbakti kepada mereka. Ketahuilah, sesungguhnya tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi seseorang daripada berbakti kepada kedua orang tua dan silaturahim. Dengan berbakti kepada kedua orang tua, seseorang akan mencapai derajat kedekatan dengan Allah dan Rasul-Nya yang tidak dapat dicapai dengan amalan lainnya. Ketahuilah, berbakti kepada kedua orang tua akan menyelamatkan seseorang dari suul khotimah….
Saudaraku, barang siapa berbuat baik kepada kedua orang tuanya, maka dia adalah seorang yang beruntung di dunia dan akhirat. Dan barang siapa memperlakukan kedua orang tuanya dengan buruk, maka dia adalah seorang yang merugi di dunia dan akhirat. Untuk memperoleh keridhaan kedua orang tuanya, seseorang hendaknya rela menjual apa saja, bahkan kalau perlu pakaian yang dia kenakan.”
Hadirin yang dimuliakan Allah, dalam usia yang masih sangat muda, 19 tahun, Habib Ali telah dinyatakan lulus oleh ayahnya yang merupakan seorang mufti di Mekah dan Madinah. Meski masih muda, Habib Ali telah menyelami samudera ilmu, memperoleh tempat terhormat dan menjadi pusat perhatian masyarakat. Dengan bekal yang luar biasa ini, beliau segera berdakwah meneruskan jejak ayah bundanya. Masyarakat pun menyambut dengan baik ajakan beliau. Mereka menemukan kedamaian dan ketentraman. Bahkan semasa hidup beliau, masyarakat kota Seiwun seperti kakak beradik yang hidup rukun dengan penuh cinta. Di antara mereka tidak ada permusuhan, iri dengki dan dendam. Beliau adalah seorang pemimpin yang disegani, guru yang dicintai dan ayah yang dikasihi. Namun, tidak ada seorang pun yang hidup kekal di dunia ini, pada waktu zhuhur, hari minggu 20 Rabiuts Tsani 1333 H, beliau meninggalkan dunia yang fana ini menuju rahmat Allah SWT.

MANAGIB AL-HABIB SYEIKH ABUBAKAR BIN SALIM

MANAGIB AL-HABIB SYEIKH ABUBAKAR BIN SALIM

Syeikh Abu Bakar bin Salim adalah syeikh Islam dan teladan manusia. Pemimpin alim ulama. Hiasan para wali. Seorang yang amat jarang ditemukan di zamannya. Da'i yang menunjukkan jalan Illahi dengan wataknya.

Pembimbing kepada kebenaran dengan perkataannya. Para ulama di zamannya mengakui keunggulannya. Dia telah menyegarkan berbagai warisan pendahulu-pendahulunya yang saleh. Titisan dari Hadrat Nabawi. Cabang dari pohon besar Alawi. Alim Rabbani. Imam kebanggaan Agama, Abu Bakar bin Salim Al-'Alawi, semoga Allah meredhainya.

Beliau lahir di Kota Tarim yang makmur, salah satu kota di Hadramaut, pada tanggal 13 Jumadi Ats-Tsani, tahun 919 H. Dia kota itu, dia tumbuh dengan pertumbuhan yang saleh, di bawah tradisi nenek moyangnya yang suci dalam menghafal Al-Quran.

Orang-orang terpercaya telah mengisahkan; manakala beliau mendapat kesulitan menghafal Al-Quran pada awalnya. Ayahnya mengadukan halnya kepada Syeikh Al-Imam Syihabuddin bin Abdurrahman bin Syeikh Ali. Maka Syeikh itu bertutur: "Biarkanlah dia! Dia akan mampu menghafal dengan sendirinya dan kelak dia akan menjadi orang besar. Maka menjadilah dia seperti yang telah diucapkan Syeikh itu. Serta-merta, dalam waktu singkat, dia telah mengkhatamkan Al-Quran.

Kemudian dia disibukkan dengan menuntut ilmu-ilmu bahasa Arab dan agama dari para pembesar ulama dengan semangat yang kuat, kejernihan batin dan ketulusan niat. Bersamaan dengan itu, dia memiliki semangat yang menyala dan ruh yang bergelora. Maka tampaklah tanda-tanda keluhurannya, bukti-bukti kecerdasannya dan ciri-ciri kepimpinannya. Sejak itu, sebagaimana diberitakan Asy-Syilly dalam kitab Al-Masyra' Ar-Rawy, dia membolak-balik kitab-kitab tentang bahasa Arab dan agama dan bersungguh-sungguh dalam mengkajinya serta menghafal pokok-pokok dan cabang-cabang kedua disiplin tersebut. Sampai akhirnya, dia mendapat langkah yang luas dalam segala ilmu pengetahuan.

Dia telah menggabungkan pemahaman, peneguhan, penghafalan dan pendalaman. Dialah alim handal dalam ilmu-ilmu Syariat, mahir dalam sastra Arab dan pandai serta kokoh dalam segenap bidang pengetahuan.

Dalam semua bidang tersebut, beliau telah menampakkan kecerdasannya yang nyata. Maka, menonjollah karya-karyanya dalam mengajak dan membimbing hamba-hamba Allah menuju jalan-Nya yang lurus.

Guru-guru beliau

Para guru beliau antara lain; Umar Basyeban Ba'alawi, ahli fiqih yang saleh, Abdullah bin Muhammad Basahal Bagusyair dan Faqih Umar bin Abdullah Bamakhramah. Pada merekalah dia mengkaji kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah. Syeikh Ma'ruf bin Abdullah Bajamal Asy-Syibamy dan Ad-Dau'any juga termasuk guru-guru beliau.

Hijrahnya dari Tarim

Dia beranjak dari Kota Tarim ke kota lain bertujuan untuk menghidupkan pengajian. memperbarui corak dan menggalakkan dakwah Islamiyah di jantung kota tersebut. Maka berangkatlah beliau ke kota 'Inat, salah satu negeri Hadramaut. Dia menjadikan kota itu sebagai kota hijrahnya. Kota itu dia hidupkan dengan ilmu dan dipilihnya sebagai tempat pendidikan, pengajaran dan pembimbingan. Tinggallah di sana hingga kini, masjid yang beliau dirikan dan pemakaman beliau yang luas. Syahdan, berbondong-bondonglah manusia berdatangan dari berbagai pelosok negeri untuk menimba ilmunya. Murid-murid beliau mengunjunginya dari beragam tempat: Hadramaut, Yaman, Syam, India, Indus, Mesir, Afrika, Aden, Syihr dan Misyqash.

Para murid selalu mendekati beliau untuk mengambil kesempatan merasakan gambaran kemuliaan dan menyerap limpahan ilmunya. Dengan merekalah pula, kota 'Inat yang kuno menjadi berkembang ramai. Kota itu pun berbangga dengan Syeikh Imam Abu Bakar bin Salim Al-'Alawi. Karena berkat kehadiran beliaulah kota tersebut terkenal dan tersohor, padahal sebelumnya adalah kota yang terlupakan.

Tentang hal itu, Muhammad bin Ali bin Ja'far Al-Katsiry bersyair:

Ketika kau datangi 'Inat, tanahnya pun bedendang
Dari permukaannya yang indah terpancarlah makrifat
Dahimu kau letakkan ke tanah menghadap kiblat
Puji syukur bagi yang membuatmu mencium tanah liatnya
Kota yang di dalamnya diletakkan kesempurnaan
Kota yang mendapat karunia besar dari warganya
Dengan khidmat, masuklah sang Syeikh merendahkan diri
Duhai, kota itu telah terpenuhi harapannya.
Akhlak dan kemuliaannya
Dia adalah seorang dermawan dan murah hati, menginfakkan hrtanya tanpa takut menjadi fakir. Dia memotong satu dua ekor unta untuk para peziarahnya, jika jumlah mereka banyak. Dan betapa banyak tamu yang mengunjungi ke pemukimannya yang luas.

Dia amat mempedulikan para tamu dan memperhatikan keadaan mereka.Tidak kurang dari 1000 kerat roti tiap malam dan siangnya beliau sedekahkan untuk fuqara'. Kendati dia orang yang paling ringan tangannya dan paling banyak infaknya, dia tetap orang yang paling luhur budi pekertinya, paling lapang dadanya, paling sosial jiwanya dan paling rendah hatinya. Sampai-sampai orang banyak tidak pernah menyaksikannya beristirahat.

Syeikh ahli fiqih, Abdurrahman bin Ahmad Bawazir pernah berkata: "Syeikh Abu Bakar selama 15 tahun dari akhir umurnya tidak pernah terlihat duduk-duduk bersama orang-orang dekatnya dan orang-orang awam lainnya kecuali ntuk menanti didirikannya sholat lima waktu".

Syeikh sangat mengasihani orang-orang lemah dan berkhidmat kepada orang-orang yang menderita kesusahan. Dia memperlihatkan dan menyenangkan perasaan mereka dan memenuhi hak-hak mereka dengan baik.

Di antara sekian banyak akhlaknya yang mulia itu adalah kuatnya kecintaan, rasa penghormatan dan kemasyhuran nama baiknya di kalangan rakyat. Selain murid-murid dan siswa-siswanya, banyak sekali orang berkunjung untuk menemuinya dari berbagai tempat; baik dari Barat ataupun Timur, dari Syam maupu Yaman, dari orang Arab maupun non-Arab. Mereka semua menghormati dan membanggakan beliau.

Ibadah dan pendidikannya

Seringkali dia melakukan ibadah dan riyadhah. Sehingga suatu ketika dia tidak henti-hentinya berpuasa selama beberapa waktu dan hanya berbuka dengan kurma muda berwarna hijau dari Jahmiyyah di kota Lisk yang diwariskan oleh ayahnya. "Di Abnar, dia berpuasa selama 90 hari dan selalu sholat Subuh dengan air wudhu Isya' di Masjid Ba'isa di Kota Lask. Dalam pada itu, setiap malamnya dia berangkat berziarah ke makam di Tarim dan sholat di masjid-masjid kota itu. Di masjid Ba'isa tersebut, dia selalu sholat berjamaah. Menjelang wafat, beliau tidak pernah meningalkan sholat Dhuha dan witr.

Beliau selalu membaca wirid-wirid tareqat. Dia pribadi mempunyai beberapa doa dan salawat. Ada sebuah amalan wirid besar miliknya yang disebut "Hizb al-Hamd wa Al-Majd" yang dia diktekan kepada muridnya sebelum fajar tiba di sebuah masjid. Itu adalah karya terakhir yang disampaikan ke muridnya, Allamah Faqih Syeikh Muhammad bin Abdurrahman Bawazir pada tanggal 8 bulan Muharram tahun 992 H.

Ziarah ke makam Nabi Allah Hud a.s adalah kelazimannya yang lain. Sehingga Al-Faqih Muhammad bin Sirajuddin mengabarkan bahawa ziarah beliau mencapai 40 kali.

Setiap malam sepanjang 40 tahun, dia beranjak dari Lask ke Tarim untuk sholat di masjid-masjid kedua kota tersebut sambil membawa beberapa tempat minum untuk wudhu, minum orang dan hayawan yang berada di sekitar situ.

Ada banyak pengajaran dan kegiatan ilmiah yang beliau lakukan. Konon, dia membaca kitab Al-Ihya' karya Al-Ghazzali sebanyak 40 kali. Beliau juga membaca kitab Al-Minhaj-nya Imam Nawawi dalam fiqih Syafi'i sebanyak tiga kali secara kritis. Kitab Al-Minhaj adalah satu-satunya buku pegangannya dalam fiqih. Kemudian dia juga membaca Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah di depan gurunya, Syaikh Umar bin Abdullah Bamakhramah.

Karya-karyanya

Antara lain:

Miftah As-sara'ir wa kanz Adz-Dzakha'ir. Kitab ini beliau karang sebelum usianya melampaui 17 tahun.
Mi'raj Al-Arwah membahas ilmu hakikat. Beliau memulai menulis buku ini pada tahun 987 H dan menyelesaikannya pada tahun 989 H.
Fath Bab Al-Mawahib yang juga mendiskusikan masalah-masalah ilmu hakikat. Dia memulainya di bulan Syawwal tahun 991 H dan dirampungkan dalam tahun yang sama tangal 9 bulan Dzul-Hijjah.
Ma'arij At-Tawhid
Dan sebuah diwan yang berisi pengalaman pada awal mula perjalanan spiritualnya.
Kata Mutiara dan Untaian Hikmah
Beliau memiliki banyak kata mutiara dan untaian hikmah yang terkenal, antara lain:

Pertama:
Paling bernilainya saat-saat dalam hidup adalah ketika kamu tidak lagi menemukan dirimu. Sebaliknya adalah ketika kamu masih menemukan dirimu. Ketahuilah wahai hamba Allah, bahwa engkau takkan mencapai Allah sampai kau fanakan dirimu dan kau hapuskan inderamu. Barang siapa yang mengenal dirinya (dalam keadaan tak memiliki apa pun juga), tidak akan melihat kecuali Allah; dan barang siapa tidak mengenal dirinya (sebagai tidak memiliki suatu apapun) maka tidak akan melihat Allah. Karena segala tempat hanya untuk mengalirkan apa yang di dalamnya.

Kedua:
Ungkapan beliau untuk menyuruh orang bergiat dan tidak menyia-nyiakan waktu: "Siapa yang tidak gigih di awal (bidayat) tidak akan sampai garis akhir (nihayat). Dan orang yang tidak bersungguh-sungguh (mujahadat), takkan mencapai kebenaran (musyahadat). Allah SWT berfirman: "Barangsiapa yang berjuang di jalan Kami, maka akan Kami tunjukkan kepadanya jalan-jalan Kami". Siapa pun yang tidak menghemat dan menjaga awqat (waktu-waktu) tidak akan selamat dari berbagia afat (malapetaka). Orang-orang yang telah melakukan kesalahan, maka layak mendapat siksaan.

Ketiga:
Tentang persahabatan: "Siapa yang bergaul bersama orang baik-baik, dia layak mendapatkan makrifat dan rahasia (sirr). Dan mereka yang bergaul dengan para pendosa dan orang bejat, akan berhak mendapat hina dan api neraka".

Keempat:
Penafsirannya atas sabda Rasul s.a.w: "Aku tidaklah seperti kalian. Aku selalu dalam naungan Tuhanku yang memberiku makan dan minum". Makanan dan minuman itu, menurutnya, bersifat spiritual yang datang datang dari haribaan Yang Maha Suci".

Kelima:
Engkau tidak akan mendapatkan berbagai hakikat, jika kamu belum meninggalkan benda-benda yang kau cintai ('Ala'iq). Orang yang rela dengan pemberian Allah (qana'ah), akan mendapt ketenteraman dan keselamatan. Sebaliknya, orang yang tamak, akan menjadi hina dan menyesal. Orang arif adalah orang yang memandang aib-aib dirinya. Sedangkan orang lalai adalah orang yang menyoroti aib-aib orang lain. Banyaklah diam maka kamu akan selamat. Orang yang banyak bicara akan banyak menyesal.

Keenam:
Benamkanlah wujudmu dalam Wujud-Nya. Hapuskanlah penglihatanmu, (dan gunakanlah) Penglihatan-Nya. Setelah semua itu, bersiaplah mendapat janji-Nya. Ambillah dari ilmu apa yang berguna, manakala engkau mendengarkanku. Resapilah, maka kamu akan meliht ucapan-ucapanku dlam keadaan terang-benderang. Insya-Allah....! Mengertilah bahawa Tuhan itu tertampakkan dalam kalbu para wali-Nya yang arif. Itu karena mereka lenyap dari selain-Nya, raib dari pandangan alam-raya melaluiKebenderangan-Nya. Di pagi dan sore hari, mereka menjadi orang-orang yang taat dalam suluk, takut dan berharap, ruku' dan sujud, riang dan digembirakan (dengan berita gembira), dan rela akan qadha' dan qadar-Nya. Mereka tidak berikhtiar untuk mendapat sesuatu kecuali apa-apa yang telah ditetapkan Tuhan untuk mereka".

Ketujuh:
Orang yang bahagia adalah orang yang dibahagiakan Allah tanpa sebab (sebab efesien yang terdekat, melainkan murni anugerah fadhl dari Allah). Ini dalam bahasa Hakikat. Adapun dalam bahasa Syari'at, orang bahagia adalah orang yang Allah bahagiakan mereka dengan amal-amal saleh. Sedang orang yang celaka, adalah orang yang Allah celakakan mereka dengan meninggalkan amal-amal saleh serta merusak Syariat - kami berharap ampunan dan pengampunan dari Allah.

Kelapan:
Orang celaka adalah yang mengikuti diri dan hawa nafsunya. Dan orang yang bahagia adalah orang yang menentang diri dan hawa nafsunya, minggat dri bumi menuju Tuhannya, dan selalu menjalankan sunnah-sunnah Nabi s.a.w.

Kesembilan:
Rendah-hatilah dan jangan bersikap congkak dan angkuh.

Kesepuluh:
Kemenanganmu teletak pada pengekangan diri dan sebaliknya kehancuranmu teletak pada pengumbaran diri. Kekanglah dia dan jangan kau umbar, maka engkau pasti akn menang (dalam melawan diri) dan selamat, Insya-Allah. Orang bijak adalah orang yang mengenal dirinya sedangkan orang jahil adalah orang yang tidak mengenal dirinya. Betapa mudah bagi para 'arif billah untuk membimbing orang jahil. Karena, kebahagiaan abadi dapt diperoleh dengan selayang pandang. Demikian pula tirai-tirai hakikat menyelubungi hati dengan hanya sekali memandang selain-Nya. Padahal Hakikat itu juga jelas tidak erhalang sehelai hijab pun. Relakan dirimu dengan apa yang telah Allah tetapkan padamu. Sebagian orang berkata: "40 tahun lamanya Allah menetapkan sesuatu pada diriku yang kemudian aku membencinya".

Kesebelas:
Semoga Allah memberimu taufik atas apa yang Dia ingini dan redhai. Tetapkanlah berserah diri kepada Allah. Teguhlah dalam menjalankan tatacara mengikut apa yang dilarang dan diperintahkan Rasul s.a.w. Berbaik prasangkalah kepada hamba-hamba Allah. Karena prasangka buruk itu bererti tiada taufik. Teruslah rela dengan qadha' walaupun musibah besar menimpamu. Tanamkanlah kesabaran yang indah (Ash-Shabr Al-Jamil) dalam dirimu. Allah berfirman: "Sesungguhnya Allah mengganjar orang-orang yang sabar itu tanpa perhitungan. Tinggalkanlah apa yang tidak menyangkut dirimu dan perketatlah penjagaan terhadap dirimu".

Keduabelas:
Dunia ini putra akhirat. Oleh karena itu, siapa yang telah menikahi (dunia), haramlah atasnya si ibu (akhirat).

Masih banyak lagi ucapan beliau r.a. yang lain yang sangat bernilai.

Manaqib (biografi) beliau

Banyak sekali buku-buku yang ditulis mengenai biorafi beliau yang ditulis para alim besar. Antara lain:

Bulugh Azh-Zhafr wa Al-Maghanim fi Manaqib Asy-Syaikh Abi Bakr bin Salim karya Allamah Syeikh Muhammad bin Sirajuddin.
Az-Zuhr Al-Basim fi Raba Al-Jannat; fi Manaqib Abi Bakr bin Salim Shahib 'Inat oleh Allamah Syeikh Abdullah bin Abi Bakr bin Ahmad Basya'eib.
Sayyid al-Musnad pemuka agama yang masyhur, Salim bin Ahmad bin Jindan Al-'Alawy mengemukakan bahawa dia memiliki beberapa manuskrip (naskah yang masih berbentuk tulisan tangan) tentang Syeikh Abu Bakar bin Salim. Di antaranya; Bughyatu Ahl Al-Inshaf bin Manaqib Asy-Syeikh Abi Bakr bin Salim bin Abdullah As-Saqqaf karya Allamah Muhammad bin Umar bin Shalih bin Abdurraman Baraja' Al-Khatib.



Dipetik dari:


Aurad al-Awliya' sempena menyambut rangka khaul Al-'Allamah Al-Habib Syeikh Abu Bakar bin Salim

Kata Mutiara dan Nasihatnya
1. Barangsiapa mengenal dirinya, ia tidak akan melihat selain Allah. Barang siapa tidak mengenal dirinya17, ia tidak akan melihat Allah Ta’ala.
2. Setiap wadah itu memercikkan apa yang ditampungnya.
3. Barang siapa yang pada masa bidayah-nya tidak bermujahadah, ia tidak akan mencapai puncak. Dan barang siapa tidak ber-mujahadah, ia tidak akan ber-musyahadah, Allah SWT berfirman:
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh (bermujahadah) di jalan kami, maka akan kami tunjukkan jalan-jalan kami.”
(QS Al-Ankabut, 29:69)
4. Barang siapa tidak memelihara waktunya, ia tidak akan selamat dari bencana.
5. Barang siapa bergaul dengan orang-orang yang baik (akhyar) ia akan memperoleh berbagai pengetahuan dan asrar, dan barangsiapa bergaul dengan orang-orang yang jahat, ia akan memperoleh aib dan siksa neraka.
6. Berbagai hakekat tidak akan diperoleh kecuali dengan meninggalkan berbagai penghalang (‘alaiq).
7. Dalam qana’ah terdapat ketentraman dan keselamatan, dalam tamak terdapat kehinaan dan penyesalan.
8. Orang yang arif melihat aib-aib dirinya, sedang orang yang lalai melihat aib-aib manusia lain.
9. Barang siapa diam ia akan selamat dan barang siapa berbicara ia akan menyesal.
10. Orang yang bahagia (sa‘id) adalah orang yang disenangkan oleh Allah tanpa alasan tertentu dan orang yang sengsara (syaqi) adalah orang yang disengsarakan Allah tanpa sebab tertentu. Demikianlah menurut ilmu hakekat. Sedangkan menurut ilmu syariat, orang yang bahagia adalah orang yang oleh Allah diberi kesenangan dengan melakukan berbagai amal saleh, dan orang yang sengsara adalah orang yang disengsarakan oleh Allah dengan meninggalkan amal-amal saleh dan melanggar syariat agama.
11. Orang yang sengsara adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya. Dan orang yang bahagia adalah orang yang melawan hawa nafsunya, berpaling dari alam untuk menoleh kepada Penciptanya, dan melewatkan waktu pagi dan sore dengan meneladani sunah nabinya.
12. Hendaklah kamu bertawadhu’ dan tidak menonjolkan diri. Jauhilah sikap takabbur dan cinta kedudukan.
13. Kesuksesanmu adalah saat kamu membenci nafsumu dan kehancuranmu adalah saat kamu meridhoinya. Karena itu, bencilah nafsumu dan jangan meridhoinya, niscaya kamu akan berhasil meraih segala cita-citamu, Insyaa Allah.
14. Orang yang arif adalah yang mengenal dirinya, sedangkan orang jahil adalah yang tidak mengenal dirinya.
15. Alangkah mudah bagi seorang arif billah untuk membimbing orang jahil, kadang kala kebahagiaan abadi dapat diraih hanya lewat sekilas pandangnya.
16. Ridholah atas maqam apapun yang Allah berikan kepadamu. Seorang sufi berkata, “Selama lebih dari 40 tahun aku tidak pernah merasa benci pada maqam yang Allah berikan kepadaku.”
17. Berprasangka baiklah kepada sesama hamba Allah, sebab buruk sangka timbul karena tiadanya taufik. Ridholah selalu pada qadha`. Bersikap sabarlah, walaupun musibah yang kamu alami teramat besar.
18. Allah Ta’ala berfirman:
"Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang akan dibalas dengan pahala tanpa batas."
(QS Az-Zumar, 39:10)
19. Dan tinggalkanlah hal-hal yang tidak ada manfaatnya bagimu, benahilah dirimu sendiri dahulu.
20. Dunia adalah anak perempuan akhirat, barang siapa menikahi seorang perempuan, haram mengawini ibunya.
21. Berbagai hakekat terhijab dari hati karena perhatian kepada selain Allah.
22. Waktumu yang paling bermanfaat adalah di saat kamu fana’ dan waktumu yang paling sia-sia adalah di saat kamu menyadari dirimu.
Diringkas dari
Biografi Syeikh Abu Bakar bin Salim
yang ditulis oleh Habib Abdullah bin Ahmad Al-Haddar

Manakib Al-Habib Umar bin Ja'far Assegaf

Beliau R.a adalah kakek dari Habib Hasan bin Ja’far Assegaf. Beliau lahir tahun 1889 di kota Palembang. Ayah beliau Al Habib Ja’far adalah seorang saudagar besar dan beliau mempunyai saudara Al Habib Ali bin Ja’far Assegaf yang pertama kali di Indonesia menukil silsilah para habaib di Indonesia.

Dimasa kecil beliau menghafal :
1. Hadits Arbain An Nawawiyyah
2. Zubad (kitab)
3. Kitab Muwatto Imam Malik pada usia 15 tahun

Pada umur 20 tahun beliau berguru dengan Al Habib Ahmad bin Hasan Al Attas, Hadhramaut dan Al Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al Habsyi. Lalu melanjutkan pergi haji yang pertama pada usia 25 tahun. Kemudian beliau menuju ke Palembang dan bersyiar dengan sahabat beliau Al Habib Alwi bin Syeikh Assegaf. Disitu beliau bertemu dengan ulama–ulama besar diantaranya Al Habib Abdullah bin Muchsin Al Attas sekaligus guru beliau.

Pada umur 30 tahun beliau menuju Surabaya, Madiun, Jepara, Semarang, Pekalongan, Tegal, Cirebon dan menikahi putri pondok pesantren “Buntet” K.H Abdullah Anshori, yang bernama Siti Jamilah binti Abdullah Anshori.

Pada umur 35 tahun berdakwah di Banten sampai usia 40 tahun, lalu menuju Jakarta dan bertemu dengan sahabat-sahabat beliau, diantaranya :
1. Al Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi
2. Al Habib Ali bin Husein Al Attas
3. Al Habib Salim bin Ahmad bin Jindan
4. Al Habib Sholeh bin Muchsin Al Hamid, Tanggul
5. Al Habib Alwi bin Muhammad Al Haddad, Tegal

Dan bermukim di Jakarta di Kebayoran Lama. Masa muda beliau diisi dengan berdakwah dan menuntut ilmu bersama Al Habib Abdullah bin Muchsin Al Attas dan Al Habib Ustman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya. Sampai beranjak umur 40 tahun beliau berdakwah atas perintah guru-guru beliau yang telah wafat.

Keramat Beliau
Satu diantaranya, beliau di kepung gerombolan perampok, lalu ditanya, ”Siapa yang menyuruhmu kemari, Wahai orang yang berjenggot putih?”, spontan beliau mengatakan “Allah”. Tiba-tiba gerombolan tersebut kaku bagaikan patung, yang akhirnya semua gerombolan tersebut taubat kepada Allah.

Perjumpaan dengan Nabi Khidir A.S
Suatu hari ada orang yang datang kepada beliau dengan pakaian compang camping lalu beliau berkata, ”Selamat datang wahai Nabiyullah Khidir”. Dan memberi ijazah kepada beliau do’a sapu jagat sebanyak sebanyak 15.000 x setiap hari.

Perjumpaan beliau dengan Nabi Muhammad SAW
Suatu hari dikala beliau sedang berdakwah karena beliau menghafal Al Qur’an beliau bersemangat menerangkan isi Al Qur’an di perayaan Maulid, tiba-tiba beliau menjelaskan sebuah ayat dan setelah selesai ayat itu dibaca beliau menangis, dan ditanya murid beliau, “Mengapa Habib menangis?” beliau menjawab, “didepanku ada Rasulullah SAW “.

Pada masa tua beliau tak lepas membaca manaqib Tuan Syeikh Abdul Qadir Zaelani, dan membaca Asmaul Husna. Yang akhirnya pada bulan Dzulhijjah (Idul Adha) tepat tanggal 10 hari kamis ba’da Ashar pada usia 99 tahun beliau menutup akhir hayatnya. Dengan sakit demam yang ringan. Terhembus dari lisan beliau kalimat terakhir “Laa ilaha illallah Muhammadurrasululla h”. Pada tahun 1990 disholatkan di Bogor, yang dipimpin langsung oleh anak Habib Abdullah bin Muchsin Alatas yaitu Al Habib Husien bin Abdullah Alattas. Dan dikebumikan hari Jum’at di Cibedug Bogor, Jawa Barat.
“Disarikan oleh Al Habib Ja’far bin Umar Assegaf”

Manakib Al-Habib Abdullah bin Muchsin Al-Attas

Beliau adalah seorang wali Allah yang telah berhasil mencapai kedudukan yang mulia, yang dekat dengan Allah SWT. Beliau adalah pemuka para wali yang tak terhitung jasa-jasanya bagi Islam dan kaum muslimin. panutan para ahli tasawuf dan suri tauladan yang baik bagi semua, semua kelompok manusia maupun jin.

Al-Habib Abdullah bin Muchsin Al-Attas dilahirkan didesa Haurah, salah satu desa di AL-Kasri Yaman, pada hari selasa 20 Jumadil Awal 1265 H. Sejak kecil beliau mendapatkan pendidikan rohani dari ayahnya AL-Habib Muchsin Al-Attas, Beliau mempelajari AL-Quran dari mualim Syekh Umar bin Faraj bin Sabah. setelah menghatamkan Al-quran beliau diserahkan kepada ulama-ulama besar dimasanya untuk menimba ilmu Islam, dan Al-Habib Abdullah bin Muchsin Al-Attas pernah belajar kitab risalah Jami'ah karangan AL-Habib Ahmad bin Zen Al-Habsyi, Kepada Al-Habib Abdullah Bin Alwi Alaidrus.

Diantara guru-guru beliau adalah :
- As-Sayyid Al-Habib Al-Quthub Abu Bakar bin Abdullah Alatas.
- Al-Ghauts Al-Habib Shaleh bin Abdullah Al-Attas (Penduduk Wadi Amed)

Tahun 1282 beliau menunaikan ibadah haji untuk pertama kalinya, selama ditanah suci beliau bertemu dan berdialog dengan ulama-ulama Islam terkemuka. hingga tahun 1283 H Beliau melakukan Ibadah hajinnya untuk kedua kalinya dan sepulang dari ibadah haji, beliau berkeliling kepenjuru dunia yang hingga akhirnya perjalanan itu mengantar beliau sampai kepulau Jawa tepatnya didaerah pekalongan. di pulau Jawa beliau bertemu dengan sejumlah para wali yang diantaranya dari keluarga Al Alawi, Al-Habib Ahmad bin Muhammad bin Hamzah Al-Attas.

Dalam perjalanan hidupnya, beliau Al Habib Abdullah bin Muhchsin Alatas pernah dimasukkan kedalam penjara oleh pemerintah Belanda pada masa itu dengan alas an yang tidak jelas (difitnah). Selama dipenjara, kekeramatan beliau makin nampak yang mengundang banyak penunjung untu bersilahturahmi dengan beliau. Sampai mengherankan pimpinan penjara dan para penjaganya sampai merekaun ikut mendapatkan keberkahan dan manfaat dari kebesaran beliau.

Dalam kejadian di penjara, pada suatu malam pintu penjara tiba-tiba telah terbuka dan telah dating kepada beliau kakek beliau Al Habib Umar bin Abdurrahman Alatas (Shohibul Ratib), seraya berkata,”jika engkau ingin keluar penjara keluarlah sekarang, tapi jika engkau bersabar, maka bersabarla.”. Dan ternyata beliau memilih bersabar dalam penjara. Pada malam itu juga, telah datang Sayyidina Al Faqih Muqaddam dan Syekh Abdul Qadir Jaelani. Pada keempatan itu Sayyidina Al Faqih Muqaddam memberikan sebuah kopiah Al Fiyah kepada beliau, dan Syekh Abdul Qadir Jaelani memberikan surbannya kepada beliau.

Diantara karomah beliau yang diperoleh, seperti yang diungkapkan : Al Habib Muhammad bin Idrus Al Habsyi. Bahwa Al Habib Abdullah bin Muchsin Alatas ketika mendapatkan anugerah dari Allah, beliau tenggelam penuh dengan kebesaran Allah SWT, hilang akan hubungannya dengan alam dunia dan seisinya. “ketika aku mnegunjungi Al Habib Abdullah bin Muchsin Alatas dalam penjara, aku lihat penampilannya amat berwibawa, dan beliau terlihat diliputi akan pancaran cahaya ilahi. Sewaktu beliau melihat aku, beliau mengucapkan bait-bait syair Al Habib Abdullah Al Haddad, dengan awal baitnya :

"Wahai yang mengunjungi aku dimalam dingin, ketika tak ada lagi orang yang akan menebarkan berita fitnah… Selanjutnya kami saling berpelukan dan menangis."

Karomah Al Habib Abdullah bin Muchsin Alatas yang lain diantaranya adalah sewaktu dipenjara, setiap kali beliau memandang borgol yang dibelenggu dikakinya, maka terlepaslah borgol tersebut.

Disebutkan juga bahwa ketika pimpinan penjara menyuruh sipir untuk mengikat leher beliau dengan rantai besi, maka dengan izin Allah rantai itu terlepas dengan sendirinya, dan pemimpin penjara beserta keluarganya menderita sakit panas, sampai dokter tak mampu lagi untuk mengobati. Hingga akhirnya pimpinan penjara itu sadar bahwa sakait panas tersebut disebabkan karena telah menyakiti Al Habib Abdullah bin Muchsin Alatas yang sedang dipenjara. Lalu pimpinan penjara itu mengutus utusan untuk memohon doa agar penyakit panas yang menimpa keluarganya dapat sembuh, dan berkatalah Al Habib Abdullah bin Muchsin Alatas “ambillah borgor dab rantai ini, ikatkan di kaki dan leher maka akan sembuhlah dia” maka setelah itu dengan izin Allah penyakit pimpinan penjara dan keluarganya pun dapat sembuh.

Setelah beliau keluar dari penjara, beliau mencari tempat yang sunyi, yang jauh dari banyak orang, dan ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Lalu dipilihlah daerah Bogor (Empang), yang akhirnya Al Habib Abdullah bin Muchsin Alatas bertengger ditempat ini, beliau membeli tanah, membuat rumah sederhana dan beliau menyendiri sampai diangkat derajatnya oleh Allah SWT.

Sampai pada hari selasa tanggal 29 bulan Dzulhijah 1351 H, diawal waktu dhuhur beliau dipanggil kehadirat Allah SWT. Jenazah beliau dimakamkan keesokan harnya setelah sholat dhuhur. Tak terhitung jumlah manusia yang ingin ikut mensholatkan jenazah beliau, yang dimakamkan dibagian barat mesjid beliau. Sebelum wafat beliau yang dikarenakan flu ringan, kebanyakan waktunya ditenggelamkan dalam dzikrnya dan doanya kepada Allah SWT. Samapai beliau pulang kepangkuan Alllah SWT.

Semoga kita semua mendapatkan keberkahan dari Al Habib Abdullah bin Muchsin Alatas … amin…
Disarikan dari terjemah manaqib Al Habib Abdullah bin Muchsin Alatas (Alwi bin Muhammad Alatas)

Manakib Habib ‘Abdullah bin ‘Abdul Qadir bin Ahmad BalFaqih al-’Alawi

Habib ‘Abdullah bin ‘Abdul Qadir bin Ahmad BalFaqih al-’Alawi adalah ulama yang masyhur alim dalam ilmu hadits. Beliau menggantikan ayahandanya Habib ‘Abdul Qadir bin Ahmad BalFaqih sebagai penerus mengasuh dan memimpin pesantren yang diasaskan ayahandanya tersebut pada 12 Rabi`ul Awwal 1364 / 12 Februari 1945 di Kota Malang, Jawa Timur. Pesantren yang terkenal dengan nama Pondok Pesantren Darul Hadits al-Faqihiyyah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Pesantren ini telah melahirkan ramai ulama yang kemudiannya bertebaran di segenap pelusuk Nusantara. Sebahagiannya telah menurut jejak langkah guru mereka dengan membuka pesantren-pesantren demi menyiarkan dakwah dan ilmu, antaranya ialah Habib Ahmad al-Habsyi (PP ar-Riyadh, Palembang), Habib Muhammad Ba’Abud (PP Darun Nasyi-in, Lawang), Kiyai Haji ‘Alawi Muhammad (PP at-Taroqy, Sampang, Madura) dan ramai lagi.

Bak Pinang di Belah Dua
Bapak dan anak sama-sama ulama besar, sama-sama ahli hadits, sama-sama pendidik ulung dan bijak. Merekalah Habib Abdul Qadir dan Habib Abdullah.


Masyarakat Malang dan sekitarnya mengenal dua tokoh ulama yang sama-sama kharismatik, sama-sama ahli hadits, sama-sama pendidik yang bijaksana. Mereka adalah bapak dan anak: Habib Abdul Qadir Bilfagih dan Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfagih. Begitu besar keinginan sang ayah untuk “mencetak” anaknya menjadi ulama besar dan ahli hadist – mewarisi ilmunya. Ketika menunaikan ibadah haji, Habib Abdul Qadir Bilfagih berziarah ke makam Rasulullah SAW di kompleks Masjid Nabawi, Madinah. Di sana ia memanjatkan doa kepada Allah SWT agar dikaruniai putra yang kelak tumbuh sebagai ulama besar, dan menjadi seorang ahli hadits.

Beberapa bulan kemudian, doa itu dikabulkan oleh Allah SWT. Pada 12 Rabiul Awal 1355 H/1935 M, lahirlah seorang putra buah pernikahan Habib Abdul Qadir dengan Syarifah Ummi Hani binti Abdillah bin Agil, yang kemudian diberi nama Abdullah. Sesuai dengan doa yang dipanjatkan di makam Rasulullah SAW, Habib Abdul Qadir pun mencurahkan perhatian sepenuhnya untuk mendidik putra tunggalnya itu. Pendidikan langsung ayahanda ini tidak sia-sia. Ketika masih berusia tujuh tahun, Habib Abdullah sudah hafal Al-Quran.

Hal itu tentu saja tidak terjadi secara kebetulan. Semua itu berkat kerja sama yang seimbang antara ayah yang bertindak sebagai guru dan anak sebagai murid. Sang guru mengerahkan segala daya upaya untuk membimbing dan mendidik sang putra, sementara sang anak mengimbanginya dengan semangat belajar yang tinggi, ulet, tekun, dan rajin. Menjelang dewasa, Habib Abdullah menempuh pendidikan di Lembaga Pendidikan At-Taroqi, dari madrasah ibtidaiyah hingga tsanawiyah di Malang, kemudian melanjutkan ke madrasah aliyah di Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah li Ahlis Sunnah Wal-Jama’ah. Semua lembaga pendidikan itu berada di bawah asuhan ayahandanya sendiri.

Sebagai murid, semangat belajarnya sangat tinggi. Dengan tekun ia menelaah berbagai kitab sambil duduk. Gara-gara terlalu kuat belajar, ia pernah jatuh sakit. Meski begitu ia tetap saja belajar. Barangkali karena ingin agar putranya mewarisi ilmu yang dimilikinya, Habib Abdul Qadir pun berusaha keras mendidik Habib Abdullah sebagai ahli hadits. Maka wajarlah jika dalam usia relatif muda, Habib Abdullah telah hafal dua kitab hadits shahih, yakni Shahihul Bukhari dan Shahihul Muslim, lengkap dengan isnad dan silsilahnya. Tak ketinggalan kitab-kitab Ummahatus Sitt (kitab induk hadits), seperti Sunan Abu Daud, Sunan Turmudzy, Musnad Syafi’i, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal; Muwatha’ karya Imam Malik; An-Nawadirul Ushul karya Imam Hakim At-Turmudzy; Al-Ma’ajim ats-Tsalats karya Abul Qasim At-Thabrany, dan lain-lain.

Tidak hanya menghafal hadits, Habib Abdullah juga memperdalam ilmu musthalah hadist, yaitu ilmu yang mempelajari hal ikhwal hadits berikut perawinya, seperti Rijalul Hadits, yaitu ilmu tentang para perawi hadits. Ia juga menguasai Ilmu Jahr Ta’dil (kriteria hadits yang diterima) dengan mempelajari kitab-kitab Taqribut Tahzib karya Ibnu Hajar Al-Asqallany, Mizanut Ta’dil karya Al-Hafidz adz-Dzahaby.

Empat Madzhab
Selain dikenal sebagai ahli hadits, Habib Abdullah juga memperdalam tasawuf dan fiqih, juga langsung dari ayahandanya. Dalam ilmu fiqih ia mempelajari kitab fiqih empat madzhab (Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali), termasuk kitab-kitab fiqih lain, seperti Fatawa Ibnu Hajar, Fatawa Ramli, dan Al-Muhadzdzab Imam Nawawi.

Setelah ayahandanya mangkat pada 19 November 1962 (21 Jumadil Akhir 1382 H), otomatis Habib Abdullah menggantikannya, baik sebagai pengasuh pondok peantren, muballigh, maupun pengajar. Selain menjabat direktur Lembaga Pesantren Darul Hadits Malang, ia juga memegang beberapa jabatan penting, baik di pemerintahan maupun lembaga keagamaan, seperti penasihat menteri koordinator kesejahteraan rakyat, mufti Lajnah Ifta Syari’i, dan pengajar kuliah tafsir dan hadits di IAIN dan IKIP Malang. Ia juga sempat menggondol titel doktor dan profesor. Sebagaimana Ayahandanya, Habib Abdullah juga dikenal sebagai pendidik ulung. Mereka bak pinang dibelah dua, sama-sama sebagai pendidik, sama-sama menjadi suri tedalan bagi para santri, dan sama-sama tokoh kharismatik yang bijak. Seperti ayahandanya, Habib Abdullah juga penuh perhatian dan kasih sayang, dan sangat dekat dengan para santri.

Sebagai guru, ia sangat memperhatikan pendidikan santri-santrinya. Hampir setiap malam, sebelum menunaikan shalat Tahajjud, ia selalu mengontrol para santri yang sedang tidur. Jika menemukan selimut santrinya tersingkap, ia selalu membetulkannya tanpa sepengetahuan si santri. Jika ada santri yang sakit, ia segera memberikan obat. Dan jika sakitnya serius, ia akan menyuruh seseorang untuk mengantarkannya ke dokter. Seperti halnya ulama besar atau wali, pribadi Habib Abdullah mulia dan kharismatik, disiplin dalam menyikapi masalah hukum dan agama. Tanpa tawar-menawar, sikapnya selalu tegas: yang haq tetap dikatakannya haq, yang bathil tetap dikatakannya bathil. Sikap konsisten untuk mengamalkan amar ma’ruf nahi munkar itu tidak saja ditunjukkan kepada umat, tapi juga kepada pemerintah. Pada setiap kesempatan hari besar Islam atau hari besar nasional, Habib Abdullah selalu melancarkan saran dan kritik membangun – baik melalui pidato maupun tulisan.

Habib Abdullah juga dikenal sebagai penulis artikel yang produktif. Media cetak yang sering memuat tulisannya, antara lain, harian Merdeka, Surabaya Pos, Pelita, Bhirawa, Karya Dharma, Berita Buana, Berita Yudha. Ia juga menulis di beberapa media luar negeri, seperti Al-Liwa’ul Islamy (Mesir), Al-Manhaj (Arab Saudi), At-Tadhammun (Mesir), Rabithathul Alam al-Islamy (Makkah), Al-Arabi (Makkah), Al-Madinatul Munawarah (Madinah).

Habib Abdullah wafat pada hari Sabtu 24 Jumadil Awal 1411 H (30 November 1991) dalam usia 56 tahun. Ribuan orang melepas kepergiannya memenuhi panggilan Allah SWT. Setelah dishalatkan di Masjid Jami’ Malang, jenazahnya dimakamkan berdampingan dengan makam ayahandanya di pemakaman Kasin, Malang, Jawa Timur.

Manakib Al-Habib Sholeh bin Muhsin Al Hamid

Beliau adalah Seorang wali qhutub yang lebih dikenal Dengan nama habib Sholeh Tanggul, Ulama Karismatik yang berasal dari Hadro maut pertama kali melakukan da’wahnya ke Indonesia sekitar tahun 1921 M dan menetap di daerah tanggul Jember Jawa timur. Habib Sholeh lahir tahun 1313 H dikota Korbah , ayahnya bernama Muhsin bin Ahmad juga seorang tokoh Ulama dan Wali yang sangat di cintai masyarakat , Ibunya bernama Aisyah ba umar.

Sejak Kecil Habib sholeh gemar sekali menuntut ilmu , beliau banyak belajar dari ayahandanya yang memang seorang Ahli ilmu dan Tashauf , berkat gembelengan dan didikan dari ayahnya Habib sholeh memilki kegelisahan Batiniyah yang rindu akan Alloh Swt dan Rindunya Kepada Rosululloh SAW, akhirnya beliau melakukan Uzlah ( Mengasingkan diri) selama hampir 7 tahun sepanjang waktu selama beruzlah Habib Sholeh memperbanyak Baca al quran , Dzikir dan membaca Sholawat . Hingga Akhirnya Habib Sholeh Di datangi Oleh tokoh Ulama yang juga wali Quthub Habib Abu bakar bin Muhammad assegaf dari Gresik, Habib Sholeh Diberi sorban hijau yang katanya Sorban tersebut dari Rosululloh SAW dan ini menurut Habib Abu bakar assegaf adalah suatu Isyarat bahwa Gelar wali Qhutub yang selama ini di sandang oleh habib Abubakar Assegaf akan diserahkan Kepada Habib Sholeh Bin Muhsin , Namun Habib sholeh Tanggul merasa bahwa dirinya merasa tidak pantas mendapat gelar Kehormatan tersebut. Sepanjang Hari habib Sholeh tanggul Menangis memohon kepada Alloh Swt agar mendapat Petunjuknya.

Dan suatu ketika habib Abyubakar Bin Muhammad assegaf gresik mengundang Habib sholeh tanggul untuk berkunjung kerumahnya , setelah tiba dirumah habib Abubakar Bin Muhammad assegaf menyuruh Habib Sholeh tanggul untuk melakukan Mandi disebuah kolam Milik Habib Abu bakar Assegaf , setelah mandi habib Sholeh tanggul di beri Ijazah dan dipakaikan Sorban kepadanya. Dan hal tersebut merupakan Isyarat Bahwa habib Abubakar Bin Muhammad Assegaf telah memberikan Amanat kepada Habib sholeh tanggul untuk melanjutkan Da’wak kepada masyrakat.

Habib Sholeh mulai melakukan berbagai aktifitas dakwahnya kepada Masyarakat, dengan menggelar berbagai Pengajian-pengajian . Kemahiran beliau dalam penyampaian dakwahnya kepada masyarakat membuat beliau sangat dicintai , dan Habib sholeh Mulai dikenal dikalangan Ulama dan habaib karena derajat keimuan serta kewaliaan yang beliau miliki. Habib sholeh tanggul sering mendapat Kunjungan dari berbagai tokoh ulama serta habaib baik sekedar untuk bersilahturahim ataupun untuk membahas berbagai masalah keaganmaan, bahkan para ulama serta habaib di tanah air selalu minta didoakan karena menurut mereka doa Habib sholeh tanggul selalu di kabulkan oleh alloh SWt, Pernah suatu ketika habib Sholeh tanggul berpergian dengan habib Ali Al habsy Kwitang dan Habib ali bungur dalam perjalanan Beliau melihat kerumunan Warga yang sedang melaksanakan sholat Istisqo’ ( Sholat minta hujan ) karena musim kemarau yang berkepanjangan , lalu Habib sholeh Memohon kepada alloh Untuk menurunkan Hujan maka seketika itupula hujan turun. Beliau berpesan kepada jama’ah Majlis ta’limnya apabila do’a-doa kita ingin dikabulkan oleh Alloh Swt jangan sekali-kali kita membuat alloh murka dengan melakukan Maksiyat, Muliakan orang tua mu dan beristiqomalah dalam melaksanakan sholat subuh berjama’ah.

Habib Sholeh berpulang kerahmatulloh pada tanggal 7 sawal 1396 h atau sekitar tahun 1976, hingga sekarang Karomah beliau yang tampak setelah beliau meninggal adalah bahwa maqom beliau tidak pernah sepi dari para jamaah yang datang dari berbagai daerah untuk berziarah apalagi waktu perayaan haul beliau yang diadakan setiap hari kesepuluh dibulan syawal ribuan orang akan tumpah ruah kejalan untuk memperingati Khaul beliau.

Al habib Umar Bin Hud Al athos

Habib Umar Bin Hud Al Athos adalah seorang ulama dan konon beliau juga seorang wali quthub usianya lebih dari 100 tahun dilahirkan di penghujung abad ke 19 di Hadramaut, Yaman Selatan. Sejak usia muda beliau telah datang ke Indonesia. Mula-mula tinggal di Kwitang, Jakarta Pusat. Beliau berdakwah sambil berjualan kain di Pasar Tanah Abang. Kemudian membuka pengajian dan majelis maulid di Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat. Sekitar tahun 1950-an, Beliau ke Mekkah dan bermukim selama beberapa tahun dan selama di mekkah beliu menggunakan kesempatan tersebut untuk belajar kepada ulama-ulama setempat. Tapi, sayangnya, saat hendak kembali ke Indonesia, ia tertahan di Singapura.

Pasalnya, pada awal 1960-an terjadi konfrontasi antara RI dan Malaysia, sementara Singapura masih merupakan bagian negara itu. Habib Umar baru kembali ke Tanah Air setelah usai konfrontasi, pada awal masa Orde Baru. Tapi, rupanya banyak hikmah yang diperoleh di balik kejadian tersebut. Karena, selama lebih dari lima tahun di Malaysia dan Singapura, ternyata beliau sangat dihormati oleh umat Islam setempat, termasuk Brunei Darussalam.

Karenanya tidak heran kalau orang menyebut Maulid Nabi yang diselenggarakan Habib Umar di Cipayung sebagai maulid internasional. Maulid ini dihadiri sekitar 100.000 jamaah, termasuk ratusan jamaah dari mancanegara. Untuk perjamuan makanan untuk para jamaah yang menghadiri maulid ini diperlukan ribuan ekor kambing dan berton-ton beras. Kalau ditanya orang dari mana dananya, maka Habib Umar selalu bilang dari Allah.

Sesuatu yang mungkin lain dibandingkan dengan acara-acara maulud di majelis lain adalah, tidak ada ceramah-ceramah setelah baca maulud. Acaranya langsung saja yakni baca maulud, zikir dan ditutup dengan do’a. Tidak adanya ceramah-ceramah yang sudah tradisi sejak lama itu, karena Habib Umar khawatir akan menimbulkan saling serang dan fitnah.

Kegiatan rutin Habib Umar yang lain yang memasyarakat adalah shalat subuh berjamaah di kediamannya di Condet. Setiap hari terdapat sekitar 300 jamaah subuh yang datang. Khusus pada hari Jumat, jamaahnya meningkat menjadi sekitar 1.000 orang. Setiap Sabtu mereka para jama’ah diberikan pelajaran Fiqih sedangkan di Cipayung bogor tiap kamis malam diadakan pembacaan maulid diba' dan yang menarik adalah setelah diadakan kegiatan tersebut para jama’ah dijamu oleh Habib Umar Bin Hud seperti nasi uduk lengkap dengan lauk-pauknya. Habib Umar meninggal dunia pada bulan Agustus 1999 di rumahnya dan dimakamkan di Wakaf al-Hawi dekat dengan pusat perbelanjaan PGC cililtan sesuai dengan wasiat beliau.

Ada sebuah cerita dari ana ttg beliau habib umar bin hud al athos
ana muh imam supriyanto pada suatu masa ana begitu lupa pada agama, ana khilaf pada dunia, ana rusak iman ana hanya untuk senang-senang pada dunia. Semasa kecil ana begitu ingin hadir di majlis beliau tapi keterbatasan dan kasih sayang orang tua ana menghalangi perjumpaan ana dengan beliau. Tapi ana harus berterima kasih pada sosok yang semasa saya kecil kira2 waktu itu saya kelas 5 atau 6 SD, karena beliau saya kembali pada jalan yang telah Allah gariskan untuk diikuti, beliau membimbing ana walaupun hanya lewat sebuah mimpi, beliau menarik saya ke dalam masjid dan menyuruh saya sholat di dalamnya, saya di dalam mimpi tersebut menolak tetapi beliau mengandeng tangan saya dan memberikan keterangan yang begitu menyejukkan. Dan seteah mimpi tersebutlah ana kembali pada jalan ini dan kembali mencari ilmu dari ustad maupun habaib yang saya jumpai, satu hal lagi saya telahj menemukan masjid yang ada di dalam mimpi saya dan ternyata masjid itu ada di daerah pasar minggu dan memang benar itulah masjid yang dibangun karena perintah dari habib umar bin hud al athos. InsyaAllah bagi jamaah yang mau bertemu saya, saya insyaAllah selalu hadir setiap tahun di pesantren beliau di bilangan puncak jawa barat. alfatihah ila hadhrotin Nabi muhamad Sallahu 'alaihi wassalam khususon ila ruhi alhabib umar bin hud alathos...alfatihah...

Riwayat Hidup Imam Musa Al-Kadzim a.s

Untuk yang kesekian kalinya keluarga Rasulullah dibahagiakan atas kelahiran seorang manusia suci, pilihan Allah demi
kelestarian hujjahnya yaitu Musa bin Ja'far. Beliau dilahirkan pada hari Ahad 7 Shafar 128 H di kota Abwa' antara
Makkah dan Madinah.
Ayahnya begitu gembira dengan kelahiran putranya ini hingga beliau berucap: "Aku berharap tidak memperoleh putra
lain selain dia sehingga tidak ada yang membagi cintaku padanya". Ayahnya, Imam Ja'far As-Shadiq, telah mengetahui
bahwa bayi tersebut akan menjadi orang besar dan mempunyai kedudukan yang mulia yaitu sebagai calon Imam,
pemimpin spiritual yang akan menjadi penerus Ahlul Bait dalam berhidmat untuk risalah Allah SWT yang dipercayakan
kepada kakeknya Muhammad saww. Beliau dilahirkan dari seorang ibu yang bernama Hamidah, seorang wanita
berkebangsaan Andalusia (Spanyol). Sejak masa kecilnya beliau telah menunjukkan sifat kepandaiannya. Pada suatu
saat Abu Hanifah datang ke kediaman Imam Ja'far As-Shadiq untuk menanyakan suatu masalah. Pada waktu itu Imam
Ja'far As-Shadiq a.s. sedang istirahat lalu Abu Hanifah bertanya kepada anaknya, Musa Al-Kadzim yang pada waktu itu
berumur 5 tahun. Setelah mengucapkan salam beliau bertanya: Bagaimana pendapat Anda tentang perbuatanperbuatan
seorang manusia? Apakah dia melakukan sendiri atau Allah yang mejadikan dia berbuat seperti itu? "Wahai
Abu Hanifah! Imam berusia 5 tahun tersebut menjawab dengan gaya seperti para leluhurnya,: "perbuatan-perbuata n
seorang manusia dilahirkan atas tiga kemungkinan.
Pertama, Allah sendiri yang melakukan sementara manusia benar-benar takberdaya. Kedua, Allah dan manusia samasama
berperan atas perbuatan-perbuatan tersebut. Ketiga, manusia sendiri yang melakukannya. Maka, jika asumsi
pertama yang benar dengan jelas membuktikan ketidakadilan Allah yang menghukum makhIuk-Nya atas dosa-dosa
yang mereka tidak lakukan. Dan jika kondisi yang kedua diterima, maka Allahpun tidak adil kalau Dia menghukum
manusia atas kesalahan-kesalahan yang di dalamnya Allah sendiri bertindak sebagai sekutu. Tinggal alternatif yang
ketiga, yakni bahwa manusia sepenuhnya bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan mereka sendiri". Mengenai
situasi politik di zaman beliau hampir sama dengan zaman sebelumnya. Beliau hidup dalam zaman yang paling kritis di
bawah raja-raja zalim dari Bani Abbas. Beliau hidup di zaman Al-Manshur, Al-Mahdi, Al-Hadi dan Harun Ar-Rasyid. Di
masa Imam Musa masih berusia 5 tahun. Telah terjadi sebuah peristiwa besar yaitu runtuhnya Dinasti Umayyah dan
bangkitnya Dinasti Abbasyiah. Bani Abbasiyah juga tidak kalah dalam perbuatan jahatnya. Kedudukan jadi rebutan di
saat itu, sementara istana dipenuhi dengan gundik-gundik dan harta. Tari-tarian serta lagu dan syair menjadi hiasan
istana Bani Abbasyiah, kejahatan mereka merajalela dan dekadensi moral hampir merata dimana-mana. Nasib keluarga
Imam Musa a.s. (Al-Alawiyin) teraniaya di zaman ini.
Di zaman Al-Manshur mereka dipenjarakan tanpa diberi makan, sebagian lagi diusir dari rumah-rumahnya dan yang lain
dibunuh. Penguburan hidup-hidup bukan merupakan pemandangan yang baru lagi di zaman ini. Kebiadaban Al-Manshur
tidak berlangsung lama pada tanggal 3 Dzulhijjah158 H, dia mati lalu digantikan oleh anaknya Al-Mahdi. Al-Mahdi
memerintah sejak 3 Dzulhijjah 158-22 Muharam 169. Di masa pemerintahannya, Imam Musa pernah dipenjarakan di
Baghdad yang kemudian dibebaskan lagi. Walau penekanan dan kejahatan tidak dapat dielakkan lagi, namun
penderilaan Ahlul Bait tidaklah separah di zaman Al-Manshur. Setelah beberapa tahun, Al-Mahdi juga meninggal dunia
dan sejak 22 Muharram 169 H, anaknya, Al-Hadi, menggantikan posisi ayahnya sebagai raja Bani Abbas. Dia terkenal

Mengenang Kiai Hamid Pasuruan

Orang mengenal Kiai Hamid karena beliau dikenal sebagai seorang wali. Dan orang mengatakan wali – biasanya – hanya karena keanehan seseorang. Tidak banyak yang tahu tentang sejatinya beliau. Nah ! Dalam rangka memperingati haulnya pada bulan Mei ini kami turunkan sekelumit tentang beliau.
Seperti halnya orang mengenal Syekh Abdul Qodir Al-Jaelani sebagai sultanul auliya’, tidak banyak yang tahu bahwa sebetulnya Syekh Abdul Qodir adalah menguasai 12 disiplin ilmu. Beliau mengajar ilmu qiraah, tafsir, hadits, nahwu, sharaf, ushul fiqh, fiqh dll. Beliau sendiri berfatwa menurut madzhab Syafi’I dan Hanbali. Juga Sahabat Umar bin Khattab, orang hanya mengenal sebagai Khalifah kedua dan Panglima perang. Padahal beliau juga wali besar. Beliau pernah mengomando pasukan muslimin yang berada di luar negeri cukup dari mimbar Masjid di Madinah dan pernah menyurati dan mengancam sungai Nil di Mesir yang banyak tingkah minta tumbal manusia, hingga nurut sampai sekarang.
Kiai Abdul Hamid yang punya nama kecil Abdul Mu’thi lahir di Lasem Rambang Jawa Tengah tahun 1333 H bertepatan dengan tahun 1914 M. dari pasangan Kiai Abdullah bin Umar dengan Raihanah binti Kiai Shiddiq. Beliau yang biasa dipanggil Mbah Hamid ini adalah putra keempat dari 12 saudara.
Seperti umumnya anak cerdas, Hamid pada waktu kecil nakalnya luar biasa, sehingga dia yang waktu kecil dipanggil Dul ini panggilannya dipelesetkan menjadi Bedudul. Kenakalannya ini dibawa sampai menginjak usia remaja, dimana dia sering terlibat perkelahian dengan orang China yang pada waktu itu dipihak para penjajah. Pernah suatu saat dia ajengkel melihat lagak orang China yang sombong, kemudian orang China tersebut ditempeleng sampai klenger. Karena dia dicari-cari orang China kemudian oleh ayahnya dipondokkan ke Termas Pacitan. Sewaktu dia belajar di Termas sering bermain ke rumah kakeknya, Kiai Shiddiq di Jember dan kadang-kadang bertandang ke rumah pamannya Kiai Ahmad Qusyairi di Pasuruan. Sehingga, sebelum dia pindah ke Pasuruan, dia sudah tidak asing lagi bagi masyarakat disana.
Setelah di pesantren Termas dipercaya sebagai lurah, Kiai Hamid sudah mulai menampakkan perubahan sikapnya, amaliyahnya mulai instensif dan konon dia suka berkhalwat disebuah gunung dekat pesantren untuk membaca wirid. Semakin lama, dia semakin jarang keluar kamar. Sehari-hari di kamar saja, enath apa yang diamalkannya. Sampai kawan-kawannya menggoda . Pintu kamarnya dikunci dari luar. Tapi, anehnya dia bisa keluar masuk.
Tawadlu’ dan Dermawan.
Kiai Hamid yang kemudian diambil menantu Kiai Qusyairi adalah sosok yang halus pembawaannya. Meski sebagai orang alim dan menjadi menantu kiai, beliau tetap tawadlu’ (rendah hati). Suaranya pelan dan sangat pelan. Ketika apa saja apelan, entah mengajar, membaca kitab, berdzikir, shalat amaupun bercakap-cakap dengan tamu. Kelembutan suaranya sama persis dengan kelembutan hatinya. Beliau mudah sekali menangis. Apabila ada anaknya yang membandel dan akan memarahinya, beliau menangis dulu, akhirnya tidak jadi marah. “Angel dukane, gampang nyepurane”, kata Durrah, menantunya.
Kebersihan hatinya ditebar kepada siapa saja, semua orang merasa dicintai beliau. Bahkan kepada pencuri pun beliau memperlihatkan sayangnya. Beliau melarang santri memukuli pencuri yang tertangkap basah di rumahnya. Sebaliknya pencuri itu dibiarkan pulang dengan aman, bahkan beliau pesan kepada pencuri agar mampir lagi kalau ada waktu.
Sikap tawadlu’ sering beliau sampaikan dengan mengutip ajaran Imam Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam; “Pendamlah wujudmu di dalam bumi khumul (ketidakterkenalan)” . Artinya janganlah menonjolakan diri. Dan ini selalu dibuktikan dalam kehidupannya sehari-hari. Bila ada undangan suatu acara, beliau memilih duduk bersama orang-orang biasa, di belakang. Kalau ke masjid, dimana ada tempat kosong disitu beliau duduk, tidak mau duduk di barisan depan karena tidak mau melangkahi tubuh orang.
Kiai Hamid yang wafat pada tahun 1982 juga dikenal sebagai orang yang dermawan. Biasanya, kebanyakan orang kalau memberi pengemis dengan uang recehan Rp. 100,-. Tidak demikian dengan Kiai Hamid, beliau kalau memberi tidak melihat berapa uang yang dipegangnya, langsung diserahkan. Kalau tangannya kebetulan memegang uang lima ribuan, ya uang itu yang diserahkan kepada pengemis. Tak hanya bentuk uang, tapi juga barang. Dua kali setahun beliau selalu membagi sarung kepada masing-masing anggota keluarga.
Orang Alim
Biasanya orang yang terkenal dengan kewaliannya hanya dipandang dari kenyentrikannya saja. Tapi tidak demikian dengan Kiai Hamid, beliau dipandang orang bukan hanya dari kenylenehannya, tapi dari segi keilmuannya, beliau juga sangat dikagumi banyak kiai. Karena, memang sejak dari pesantren beliau sudah terkenal menguasai berbagai disiplin ilmu, mulai dari ilmu kanoragan, ketabiban, fiqih, sampai ilmu Arudl beliau sangat menguasai. Terbukti beliau juga menyusun syi’iran.
Karena kedalaman ilmunya itu, masyarakat meminta beliau menyediakan waktu untuk mengaji. Akhirnya beliau menyediakan waktu Ahad pagi selepas subuh. Adapun kitab yang dibaca kitab-kitab tasawwuf, mulai dari yang kecil seperti kitab Bidayatul Hidayah, Salalimul Fudlala’ dan kemudian dilanjutkan kitab Ihya’.
Didalam mendidik atau mengajar, Kiai Hamid mempunyai falsafah yang beranjak dari keyakinan tentang sunnatullah, hukum alam. Ketika ada seorang guru mengadu bahwa banyak murid-muridnya yang nilainya merah. Beliau lalu memberi nasehat dengan falsafah pohon kelapa. “Bunga Kelapa (manggar) kalau jadi kelapa semua yang tak kuat pohonnya atau buahnya jadi kecil-kecil” katanya menasehati sang guru. “Sudah menjadi sunnatullah,” katanya, bahwa pohon kelapa berbunga (manggar), kena angin rontok, tetapi tetap ada yang berbuah jadi cengkir. Kemudian rontok lagi. Yang tidak rontok jadi degan. Kemudian jadi kelapa. Kadang-kadang sudah jadi kelapa masih dimakan tupai.
Ijazah-ijazah
Seperti kebanyakan para kiai, Kiai Hamid banyak memberi ijazah (wirid) kepada siapa saja. Biasanya ijazah diberikan secaara langsung tapi juga pernah memberi ijazah melalui orang lain. Diantara ijazah beliau adalah:

  1. Membaca Surat Al-Fatihah 100 kali tiap hari. Menurutnya, orang yang membaca ini bakal mendapatkan keajaiban-keajaiban yang terduga. Bacaan ini bisa dicicil setelah sholat Shubuh 30 kali, selepas shalat Dhuhur 25 kali, setelah Ashar 20 kali, setelah Maghrib 15 kali dan setelah Isya’ 10 kali.
  2. Membaca Hasbunallah wa ni’mal wakil sebanyak 450 kali sehari semalam.
  3. Membaca sholawat 1000 kali. Tetapi yang sering diamalkan Kiai Hamid adalah shalawat Nariyah dan Munjiyat.
  4. Membaca kitab Dala’ilul Khairat. Kitab ini berisi kumpulan shalawat.(m. muslih albaroni)

Sohibbus Simtuddurror

Al-Habib Al-Imam Al-Allamah Ali bin Muhammad bin Husin Al-Habsyi dilahirkan pada hari Juma’at 24 Syawal 1259 H di Qasam, sebuah kota di negeri Hadhramaut.

Beliau dibesarkan di bawah asuhan dan pengawasan kedua orang tuanya; ayahandanya, Al-Imam Al-Arif Billah Muhammad bin Husin bin Abdullah Al-Habsyi dan ibundanya; As-Syarifah Alawiyyah binti Husain bin Ahmad Al-Hadi Al-Jufri, yang pada masa itu terkenal sebagai seorang wanita yang solihah yang amat bijaksana.

Pada usia yang amat muda, Habib Ali Al-Habsyi telah mempelajari dan mengkhatamkan Al-Quran dan berhasil menguasai ilmu-ilmu zahir dan batin sebelum mencapai usia yang biasanya diperlukan untuk itu. Oleh karenanya, sejak itu, beliau diizinkan oleh para guru dan pendidiknya untuk memberikan ceramah-ceramah dan pengajian-pengajian di hadapan khalayak ramai, sehingga dengan cepat sekali, dia menjadi pusat perhatian dan kekaguman serta memperoleh tempat terhormat di hati setiap orang. Kepadanya diserahkan tampuk kepimpinan tiap majlis ilmu, lembaga pendidikan serta pertemuan-pertemuan besar yang diadakan pada masa itu.
Selanjutnya, beliau melaksanakan tugas-tugas suci yang dipercayakan padanya dengan sebaik-baiknya. Menghidupkan ilmu pengetahuan agama yang sebelumnya banyak dilupakan. Mengumpulkan, mengarahkan dan mendidik para siswa agar menuntut ilmu, di samping membangkitkan semangat mereka dalam mengejar cita-cita yang tinggi dan mulia.

Untuk menampung mereka, dibangunnya Masjid “Riyadh” di kota Seiwun (Hadhramaut) , pondok-pondok dan asrama-asrama yang diperlengkapi dengan berbagai sarana untuk memenuhi keperluan mereka, termasuk soal makan-minum, sehingga mereka dapat belajar dengan tenang dan tenteram, bebas dari segala pikiran yang mengganggu, khususnya yang bersangkutan dengan keperluan hidup sehari-hari.

Bimbingan dan asuhan beliau seperti ini telah memberinya hasil kepuasan yang tak terhingga dengan menyaksikan banyak sekali di antara murid-muridnya yang berhasil mencapai apa yang dicitakannya, kemudian meneruskan serta menyiarkan ilmu yang telah mereka peroleh, bukan sahaja di daerah Hadhramaut, tetapi tersebar luas di beberapa negeri lainnya - di Afrika dan Asia, termasuk di Indonesia.

Di tempat-tempat itu, mereka mendirikan pusat-pusat dakwah dan penyiaran agama, mereka sendiri menjadi perintis dan pejuang yang gigih, sehingga mendapat tempat terhormat dan disegani di kalangan masyarakat setempat. Pertemuan-pertemuan keagamaan diadakan pada berbagai kesempatan. Lembaga-lembaga pendidikan dan majlis-majlis ilmu didirikan di banyak tempat, sehingga manfaatnya benar-benar dapat dirasakan dalam ruang lingkup yang luas sekali.

Beliau meninggal dunia di kota Seiwun, Hadhramaut, pada hari Ahad 20 Rabi’ul Akhir 1333 H dan meninggalkan beberapa orang putera yang telah memperoleh pendidikan sebaik-baiknya dari beliau sendiri, yang meneruskan cita-cita beliau dalam berdakwah dan menyiarkan agama.

Di antara putera-putera beliau yang dikenal di Indonesia ialah puteranya yang bungsu; Al-Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi, pendiri Masjid “Riyadh” di kota Solo (Surakarta). Dia dikenal sebagai peribadi yang amat luhur budi pekertinya, lemah-lembut, sopan-santun, serta ramah-tamah terhadap siapa pun terutama kaum yang lemah, fakir miskin, yatim piatu dan sebagainya. Rumah kediamannya selalu terbuka bagi para tamu dari berbagai golongan dan tidak pernah sepi dari pengajian dan pertemuan-pertemuan keagamaan. Beliau meninggal dunia di kota Palembang pada tanggal 20 Rabi’ul Awal 1373 H dan dimakamkan di kota Surakarta.

Banyak sekali ucapan Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi yang telah dicatat dan dibukukan, di samping tulisan-tulisannya yang berupa pesan-pesan ataupun surat-menyurat dengan para ulama di masa hidupnya, juga dengan keluarga dan sanak kerabat, kawan-kawan serta murid-murid beliau, yang semuanya itu merupakan perbendaharaan ilmu dan hikmah yang tiada habisnya.

Dan di antara karangan beliau yang sangat terkenal dan dibaca pada berbagai kesempatan di mana-mana, termasuk di kota-kota di Indonesia, ialah risalah kecil ini yang berisi kisah Maulid Nabi Besar Muhammad SAW dan diberinya judul “Simtud Duror Fi Akhbar Maulid Khairil Basyar wa Ma Lahu min Akhlaq wa Aushaf wa Siyar (Untaian Mutiara Kisah Kelahiran Manusia Utama; Akhlak, Sifat dan Riwayat Hidupnya).

Dipetik dari: Untaian Mutiara - Terjemahan Simtud Duror oleh Hb Anis bin Alwi bin Ali Al-Habsyi

MUALLIM SYAFI'I HADZAMI

Pada masa kekuasaan Prabu Siliwangi, kawasan Betawi disebut sebagai
Sunda Kelapa di bawah kerajaan Pajajaran. Pada Masa kerajaan Islam,
kawasan ini berada di bawah kendali Kesultanan Banten, sedangkan ketika
Belanda datang, maka ia disebut sebagai Batavia.

Karena sebenarnya Batavia adalah sebuah kota baru (benar-benar dibangun
baru) yang berupa kota benteng dengan meniru semacam kastil di Eropa,
yakni terletak di sepanjang garis pantai yang sekarang disebut sebagai
kawasan Kota dan Ancol, maka daerah-daerah pemukiman penduduk Asli yang
bukan kawasan pesisir murni tetap berada dalam situasi sebagaimana
asalnya, seperti sebelum benteng Batavia didirikan oleh Belanda. Yang
membedakan hanyalah, statusnya yang terjajah dan penguasanya yang kejam
serta kondisi kehidupan yang kian sengsara, selebihnya tetap utuh
seperti adanya, mengaji dan bercocok tanam.

Betawi adalah sebuah kawasan yang sangat religius sebelum menjadi
seperti yang kita kenali sekarang sebagai kawasan metropolitan dengan
berbagai kesibukan pemerintahan, bisnis dan hiburan saat ini. Betawi
adalah sebuah tempat yang khas dengan tradisi kesantrian yang berbeda
dengan kawasan-kawasan lain di pulau Jawa, baik tanah Pasundan maupun
wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Tradisi kesantrian di Betawi sungguh sangatlah unik, karena masyarakat
betawi umumnya tidak mengandalkan pesantren dengan asrama tinggal para
santri dalam mendidik generasi penerusnya. Betawi memiliki tradisi
mengaji yang sedemikian kuat terhadap para ulama di tempat tinggal yang
berbeda-beda. Para santri pergi mengaji dan kemudian pulang kembali ke
rumahnya begitu pengajian selesai. Mereka dapat berpindah-pindah guru
mengaji menurut kecocokan masing-masing santri. Kondisi seperti ini
berlangsung hingga tahun 1960-an. Biasanya jika mereka ingin meneruskan
pendidikannya, biasanya mereka akan melanjutkan ke Timur Tengah,
terutama ke Makkah.

Di tengah-tengah suasana penjajahan Belanda yang menjadikan kehidupan
seluruh rakyat berada dalam kesulitan, terlahirlah seorang bayi mungil
pertama dari pasangan suami istri Muhammad Saleh Raidi dan Ibu Mini yang
diberi nama Muhammad Syafi'i pada tanggal 31 Januari 1931 M. bertepatan
dengan 12 Ramadhan 1349 H. di kawasan Rawa Belong, Jakarta Barat. Ayah
Syafi'i adalah seorang Betawi asli, sedangkan ibunya berasal adari
daerah Citeureup Bogor. Ayahnya adalah seorang pekerja pada perusahaan
minyak asing di Sumatera Selatan. Dua tahun kemudian, setelah Syafi'i
lahir, ayahnya pulang ke kampung halaman dan tidak pernah kembali lagi
bekerja di perusahaan minyak asing. Ayahnya kemudian bekerja sebagai
penarik bendi.

Ulama Betawi ini sejak kecil di asuh oleh kakeknya dari pihak ayah, yang
merupakan seorang guru agama yang tinggal di daerah Batu Tulis XIII,
Pecenongan yang bernama guru Husin. Karenanya, Syafi'i kecil juga didik
sebagai guru agama. Kakeknya ini adalah seorang pensiunan pegawai
percetakan yang tidak memiliki anak, sehingga sebenarnya, ia bukanlah
kakek langsung, melainkan paman dari ayah Syafi'i. dengan demikian ia
memiliki banyak waktu untuk mendidik syafi'i mengaji bersama dengan
teman-temannya di samping berdagang kecil-kecilan untuki mengisi waktu
senggang. Dari sini terlihat bahwa Syafi'i adalah anak yang cerdas dan
ulet, ia tidak suka menyia-nyiakan waktunya hanya untuk bersantai-santai
saja.

Kakeknya ini sangat keras dalam mendidik anak-anak, sehingga dalam usia
Sembilan tahun, Syafi'i telah berhasil menghatamkan al-Qur'an. Sejak
kecil Syafi'i tidak pernah mengalami benturan dengan kakeknya. Meskipun
kakeknya ini adalah orang kaya dan pensiunan pegawai percetakan, namun
ia sama sekali tidak pernah mencita-citakan cucunya kelak menjadi
seorang pegawai juga. Karenanya, kakeknya selalu mengajak Syafi'i ke
tempat-tempat pengajian, kemana pun kakeknya ini mengaji. Sebagai
seorang guru ngaji, kakeknya juga menginginkan cucunya belajar mengaji
dan bergulat di bidang agama.

Sehingga teman-teman dan guru-guru kakeknya, secara otomatis juga
menjadi guru langsung dari Syafi'i muda. Di antara teman-teman kakeknya
ini adalah, Guru Abdul Fatah yang tinggal di daerah Batu Tulis. Juga
kepada Bapak Sholihin di Musholla kakeknya, sehingga Musholla tempatnya
mengaji ini kemudian dinamakan dengan Raudhatus Sholihin.

*Menikah dan Terus Belajar*
Sebagaimana kebiasaan masyarakat Betawi pada waktu itu, bahkan
masyarakat Indonesia pada umumnya, maka Syafi'i juga menikah di usia
muda, yakni tujuh belas tahun. Syafi'i menikahi gadis teman
sepermainannya di Batu Tulis, seorang gadis bernama Nonon. Ketika
menikah Syafi'i telah mengikuti neneknya pindah ke kawasan Kemayoran
sepeninggal kakeknya.

Syafi'i yang sejak kecil memang sangat gigih dalam menuntut ilmu dan
menjalani hidup yang serba dibatasi dalam didikan kakeknya, tek
menjadikan pernikahan sebagai hambatan untuk terus mencari ilmu. Syafi'i
menamatkan sekolah dasar pada tahun 1942 M. dan setelah kemerdekaan ia
bekerja sebagai karyawan di RRI. Karena ia juga selalu membawa-bawa
kitab-kitab bacaannya, maka ruang kerjanya yang di RRI juga berfungsi
sebagai tempat muthala'ah.
Karena telah dewasa dan memiliki cukup ilmu, maka selain bekerja dan
berumah tangga, Syafi'i juga mulai mengajar secara resmi.
Berangsur-angsur kemudian ia sering dipanggil sebagai Muallim syafi'i,
yang berarti Guru Syafi'i. Namun bukan berarti setelah mulai mengajar,
ia berhenti berguru dan mengaji. Muallim Syafi'i tetap merupakan pribadi
yang tawadhu' dan senantiasa giat menuntut ilmu. Karenanya, ia tetap
memiliki banyak guru yang aktif menyampaikan ilmu-ilmu agama kepadaya,
selain telah mulai memiliki banyak murid.

Di antara guru-gurunya tersebut adalah, Habib Ali bin Husein al-Atthas,
di Bungur kawasan Senen Jakarta Pusat; Ajengan KH. Abdullah bin Nuh,
dari Cianjur Jawa Barat yang aktif berceraman di RRI; Habib Ali bin
Abdurrahman al-Habsyi, Kwitang Jakarta Pusat; KH. Ya'qub Saidi, Kebun
Sirih Jakarta Pusat; KH. Muhammad Ali Hanafiyah: Pekojan Jakarta Barat;
KH. Muhtar Muhammad, kebun Sirih; KH. Muhammad Sholeh Mushonnif,
Kemayoran Jakarta Pusat; KH.Zahruddin Usman yang berasal dari Jambi; dan
sederet ulama-ulama lain di seantero Jakarta, baik yang memang tinggal
di Jakarta, maupun para ulama yang sedang bertugas di Jakarta. Syeikh
Yasin bin Isa al-Fadani adalah salah satu guru dari Muallim Syafi'i,
karena seringkali ketika Syeikh Yasin berkunjung ke Jakarta dan tinggal
di tempat salah seorang temannya di Prapanca Jakarta Barat, Muallim
Syafi'i selalu menyempatkan hadir di pengajian-pengajian yang di buka
oleh Syeikh Yasin di sana.

Dari tata cara beginilah, mengajar sembari terus menuntut ilmu, Muallim
Syafi'i mendarmabaktikan hidupnya untuk perkembangan islam di Jakarta.
Lambat laun, nama muallim Syafi'i bertambah menjadi Syafi'i Hadzami.
Ketika Beliau telah bergelut dengan masyarakat sela puluhan tahun, maka
namanya kemudian menjadi salah satu tokoh terdepan di kehidupan umat
Islam Jakarta. Murid-muridnya terdiri dari beragam usia, latar belakang
profesi dan kesukuan. Hal ini terjadi seiring terus tergesernya dan
perpindahan para penduduk asli Betawi dari kampong-kampung asal mereka.
Sehingga pengajian-pengajian Muallim Syafi'i Hadzami yang dahulu ramai
dikunjungi oleh penduduk suku Betawi, lambat laun juga dibanjiri oleh
penduduk-penduduk pendatang yang beragam sukunya.

*Kharisma dan Daya Tarik*
Termasuk pula yang menjadi daya tarik pengajian Muallim Syafi'i Hadzami
adalah karena pengajian-pengajiannya selalu juga dihadiri oleh para Kyai
dan teman-teman seperjuangannnya. Bahkan banyak sekali para ulama yang
dahulunya adalah guru-guru Muallim Syafi'i, kini menghadiri
pengajian-pengajian Beliau sebagai murid atau pendengar.

Sejak awal, Muallim Syafi'i Hadzami telah mengajar ke berbagai majlis
ta'lim. Pada tahun 1963, pada usia 32 tahun, Beliau membentuk sebuah
Badan Musyawarah Majlis Ta'lim (BMMT) yang diberi nama al-'Asyirotus
Syafi'iyyah. Badan ini kemudian berkembang menjadi sebuah Yayasan pada
tahun 1975 yang mampu mendirikan sebuah komplek pesantren di kampung
Dukuh, kebayoran lama, Jakarta Selatan. Pesantren ini kemudian
berkembang mejadi sebuah lembaga pendidikan yang berhasil mengelola
pendidikan dari tingkat TK hingga Aliyah. Di komplek pesantren inilah
kemudian Muallim Syafi'i tinggal sepanjang usianya. Namun demikian
pengajian-pengajian ke berbagai penjuru Jakarta tetp dilakoninya
sepanjang hidup. Bahkan hampir-hampir tiada waktu luang untuk sekedar
bersantai, karena kalaupun Muallim sedang tidak mengajar, maka Beliau
pasti sedang Muthola'ah. Hal ini dikarenakan sedemikian cinta beliau
kepada ilmu-ilmu agama. Bahkan karena cintanya ini, ruang tamu di
rumahnya pun lebih mirip sebagai perpustakaan.

Gaya bicaranya datar-datar saja namun tertib dan jelas, cara
berpakaiannya yang wajar-wajar saja, dan sikapnya yang tenang, serta
pembawaannya yang sederhana, menjadikan Muallim disegani oleh seluruh
ulama di betawi, baik dari kalangan habaib maupun para ulama Betawi
Asli. Hal ini terutama sekali dikarenakan sikap Beliau yang sangat teguh
dalam memegang prinsip-prinsip agama. Selain itu Muallim Syafi'i Hadzami
juga terkenal sangat rendah hati dan mencintai para muridnya.

Menurut KH. Rodhi Sholeh, salah seorang Mustasyar PBNU yang mengenal
Muallim Syafi'i Hadzami ini dalam sebuah pengajian di PWNU DKI Jakarta,
Muallim Syafi'i Hadzami adalah sosok guru yang tidak suka menyombongkan
diri meskipun Beliau sangat alim. Banyak orang-orang dari daerah yang
merasa telah menjadi Betawi setelah kenal dengan beliau, karena Beliau
sama sekali tidaklah membedakan mana orang-orang pendatang dari daerah
dan mana orang-orang asli Jakarta.

Sementara KH. Irvan Zidni yang mengaku sering bertemu langsung di
forum-forum Batsul Masail Muktamar PBNU mengakui bahwa Muallim Syafi'i
Hadzami memberi bobot yang berbeda kepada ulama-ulama asal Jakarta,
karena dalam forum-forum seperti itu, memang biasanya pendapat mereka
sering ditolak. Namun keberadaan Muallim Syafi'i Hadzami mampu menepis
kebiasaan ini. Muallim memang memiliki kemampuan keilmuan yang cukup
untuk mempertahankan pendapat-pendapatnya. Dalam arena batsul masail,
kemampuannya sebanding dengan para ulama dari daerah-daerah lain yang
sedari kecil menuntut ilmu di pesantren selama puluhan tahun, sehingga
sangatlah sukar untuk meruntuhkan argumen-argumen Beliau.

*Karya-Karya*
Muallim Syafi'i Hadzami, selain mendarmabhaktikan seluruh aktivitasnya
untuk kemajuan umat Islam, khususnya di daerah Jakarta, Beliau juga
memiliki karya-karya tulis yang masih dapat dijadikan referensi hingga
sekarang. Karya-karya Muallim hampir semuanya ditulis sebelum era
1980-an meski masih memiliki usia panjang hingga akhir 2006, namun tidak
lagi ditemukan karya-karya yang merupakan buah tangan langsung Beliau
pada era-1990-an. Beberapa buku memang kemudian banyak di terbitkan,
terutama setelah tahun 2000 M. namun kesemuanya adalah kumpulan hasil
transkripsi pidato-pidato Muallim, baik dalam pengajian-pengajian darat
maupun pengajian-pengajian yang disiarkan melalui gelombang radio.

Karya-karya tersebut antara lain adalah Taudhihul Adillah yang
menjelaskan tentang hukum-hukum syariat berikut dengan dalil-dalil dan
keterangan-keterangannya; Sullamul Arsy fi Qiro'atil Warsy yang
menjelaskan tentang seluk beluk bacaan bacaan al-Qur'an menurut Imam
Warsy, kitab ini disusun pada tahun 1956 M. saat berusia 25 tahun.

Sementara karya-karya lain biasanya berupa penjabaran tentang suatu
permasalahan, seperti penggalan-penggalan sebuah permasalahan hokum dan
ibadah-ibadah tertentu. Karya-karya jenis ini antara lain, Qiyas adalah
Hujjah Syariah (1969 M.); Qabliyyah Jum'at; Shalat tarawih; Ujalah
Fidyah Sholat (1977 M.) dan Mathmah ar-Ruba fi Ma'rifah ar-Riba (1976 M.).

*Muallim dan Kitab Kuning*
Hingga usia senjanya, hari-hari Muallim Syafi'i Hadzami senantiasa diisi
dengan mengajar berpindah-pindah, dari satu majlis ta'lim ke majlis
ta'lim lain. Meskipun lembaga pendidikan yang didirikannya kini telah
berkembang dan mapan, namun Beliau senantiasa membagi waktunya untuk
ummat secara merata.

Kenyataan ini menjadikan hari-hari Muallim senantiasa berjibaku dengan
kitab kuning, sebab pengajian-pengajian Muallim Syafi'i Hadzami tidak
pernah lepas dari kitab kuning. Di sini Beliau tampak menekankan betapa
tradisionalisme adalah sebuah watak perjuangan yang tidak boleh
ditinggalkan begitu saja.
Dalam pandangan Muallim, kitab kuning merupakan dasar bagi pemahaman
umat Islam untuk memahami sumber hukum asal syariat.

Ini berarti bahwa dalam pandangan Syafi'i Hadzami, sebuah kesalahan
fatal apabila mencoba memahami al-Qur'an dan hadits secara langsung
tanpa mengerti pandangan dari para ulama terlebih dahulu. Syafi'i
Hadzami meyakini bahwa kitab kuning masih selalu relevan dan selalu
menawarkan hal-hal baru bagi masyarakat Muslim. Hal ini tentu saja
menunjukkan bahwa Muallim Syafi'i sangat mengikuti perkembangan kitab
kuning. Artinya pembacaan dan oleksi kitab-kitab kuningnya boleh
dibilang up to date. Memang Muallim Syafi'i Hadzami sangat banyak
mengoleksi kitab-kitab kuning yang beraneka ragam, mulai klasik, modern
hingga kontemporer.

Karena telah mengenyam manfaat yang demikian besar dari kitab kuning,
maka Muallim memiliki kiat-kiat jitu untuk dapat menguasai kitab kuning
dengan benar, dengan arti yang sebenarnya. Menurut Muallim, hal
pertama-tama yang semestinya dilakukan oleh para santri yang mempelajari
kitab kuning adalah menguasai ilmu-ilmu alat, hingga masalah yang
sekecil-kecilnya. Ini berarti seorang pembaca kitab kuning haruslah
memahami lughat. Artinya harus mengenal lughat yg berbeda-beda, serta
harus memiliki rasa penasaran yang tinggi kepada ilmu-ilmu perbandingan
madzhab, sehingga tidak kaku dalam memberikan fatwa atau memandang suatu
permasalahan hukum.

Hal ini jelas sangat terlihat dari aktivitas-aktivitas muallaim yang
bukan hanya di MUI DKI Jakarta saja, melainkan juga di NU. Muallaim
sangat rajin menghadiri batsul masail-batsul masail, dan rapat
pleno-rapat pleno yang diadakan oleh PBNU, terutama yang diadakan di
Jakarta. Hingga pada muktamar NU ke 29 di Cipasung, Tasikmalaya, Muallim
Syafi'i Hadzami dipercaya menjadi salah satu Rois Suriah PBNU. Hal ini
tentu saja merupakan pengakuan keilmuan dan keulamaan dari NU mengingat
jarang sekali ada ulama dari Batawi yang dipercaya untuk menduduki
posisi ini.

Karisma keulamaan dalam diri Muallim Syafi'i Hadzami memancar bukan
hanya di Indonesia. Kedalaman ilmu Muallim juga dikenal hingga Mekkah
dan Hadramaut. Hal ini nampak dari seringnya muallim mendapat kunjungan
dari beberapa ulama dan para Habaib dari Hadramaut.

Ba'da mengajar di Masjid Ni'matul Ittihad, tepatnya tanggal 07 mei 2006
M. Muallaim Syafi'I Hadzami merasakan nyeri di dada dan sesak napas.
Muallim berpulang ke rahmatullah dalam perjalanan menuju ke Rumah Sakit
Pertamina Pusat (RSPP). Linangan air mata mengalir mengantarkan
kepergian sang guru yang sangat dicintai oleh seluruh penduduk Jakarta

Al walid Habib 'Abdur Rahman bin Ahmad bin 'Abdul Qadir as-Saqqaf

Hari Isnin, waktu Zohor tanggal 7 Rabi`ul Awwal 1428H (26 Mac 2007)
kembali seorang lagi ulama kita ke rahmatUllah. Habib 'Abdur Rahman
bin Ahmad bin 'Abdul Qadir as-Saqqaf dilahirkan di Cimanggu, Bogor.
Beliau telah menjadi yatim sejak kecil lagi apabila ayahandanya
berpulang ke rahmatUllah dan meninggalkan beliau dalam keadaan dhoif
dan miskin. Bahkan beliau sewaktu-waktu terkenang zaman kanak-
kanaknya pernah menyatakan: "Barangkali dari seluruh anak yatim,
yang termiskin adalah saya. Waktu Lebaran, anak-anak mengenakan
sandal atau sepatu, tapi saya tidak punya sandal apa lagi sepatu."

Tapi kemiskinan tidak sekali-kali menghalangi beliau dalam menuntut
ilmu agama. Bermula dengan pendidikan di Jamiat al-Khair, Jakarta,
dan seterusnya menekuni belajar dengan para ulama sepuh seperti
Habib 'Abdullah bin Muhsin al-Aththas rahimahUllah yang lebih
terkenal dengan panggilan Habib Empang Bogor. Beliau sanggup
berjalan kaki berbatu-batu semata-mata untuk hadir pengajian Habib
Empang Bogor. Selain berguru dengan Habib Empang Bogor, beliau turut
menjadi murid kepada Habib 'Alwi bin Thahir al-Haddad (mantan Mufti
Johor), Habib 'Ali bin Muhammad bin Thahir al-Haddad, Habib Ali bin
Husein al-Aththas (Habib Ali Bungur), Habib Ali bin 'Abdur Rahman al-
Habsyi (Habib Ali Kwitang) dan beberapa orang guru lagi. Dengan
ketekunan, kesungguhan serta keikhlasannya, beliau dapat menguasai
segala pelajaran yang diberikan dengan baik. Penguasaan ilmu-ilmu
alat seperti nahwu telah membuat guru-gurunya kagum, bahkan
menganjurkan agar murid-murid mereka yang lain untuk belajar dengan
beliau.
Maka bermulalah hidup beliau menjadi penabur dan penyebar ilmu di
berbagai madrasah sehinggalah akhirnya beliau mendirikan pusat
pendidikan beliau sendiri yang dinamakan Madrasah Tsaqafah
Islamiyyah di Bukit Duri, Jakarta. Dunia pendidikan memang tidak
mungkin dipisahkan dari jiwa almarhum Habib 'Abdur Rahman, yang
hampir seluruh umurnya dibaktikan untuk ilmu dan pendidikan sehingga
dia disebut sebagai gurunya para ulama. Sungguh almarhum adalah
seorang pembimbing yang siang dan malamnya menyaksikan keluhuran
akhlak dan budi pekertinya, termasyhur dengan kelembutan
perangainya, termasyhur dengan khusyu'nya, termasyhur dengan
keramahannya oleh segenap kalangan masyarakat, orang-orang miskin,
orang kaya, pedagang, petani, kiyai, ulama dan orang-orang awam yang
masih belum mendapat hidayah pun menyaksikan kemuliaan akhlak dan
keramahan beliau rahimahullah, termasyhur dengan keluasan ilmunya,
guru besar bagi para Kiyai dan Fuqaha di Indonesia, siang dan
malamnya ibadah, rumahnya adalah madrasahnya, makan dan minumnya
selalu bersama tamunya, ayah dan ibu untuk ribuan murid-muridnya.
Selain meninggalkan anak-anak kandung serta ribuan murid yang
menyambung usahanya, beliau turut meninggalkan karangan-karangan
bukan sahaja dalam Bahasa 'Arab tetapi juga dalam Bahasa Jawa dan
Sunda. Karangannya pula tidak terbatas pada satu cabang ilmu sahaja,
tetapi berbagai macam ilmu, mulai dari tauhid, tafsir, akhlak, fiqh
hinggalah sastera. Antara karangannya yang dicetak untuk kegunaan
santri-santrinya: -
Hilyatul Janan fi hadyil Quran;
Safinatus Sa`id;
Misbahuz Zaman;
Bunyatul Ummahat; dan

Buah Delima.
Maka bulan mawlid tahun ini menyaksikan pemergian beliau ke
rahmatUllah. Mudah-mudahan Allah menempatkan beliau bersama para
leluhur beliau sehingga Junjungan Nabi s.a.w. dan semoga Allah
jadikan bagi kita yang ditinggalkannya pengganti.
"Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui" Surah : Al-Baqarah 2:22