Minggu, 09 Januari 2011

Makmum Membaca Al Fatihah di Belakang Imam

Makmum Membaca Al Fatihah di Belakang Imam
Alhamdulillah, wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in. Membaca al Fatihah atau tidak bagi makmum di belakang imam, adalah masalah yang sering jadi perselisihan dan perdebatan, bahkan sampai-sampai sebagian ulama membuat tulisan tersendiri tentang hal ini. Perselisihan ini berasal dari pemahaman dalil. Ada dalil yang menegaskan harus membacanya dan ada dalil yang memerintahkan untuk membacanya. Di lain sisi, ada juga ayat atau berbagai hadits yang memerintahkan diam ketika imam membacanya. Dari sinilah terjadinya khilaf.

Dalil: Wajib Baca Al Fatihah di Belakang Imam

Dari ‘Ubadah b in Ash Shoomit radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al Fatihah”.[1]

Dari Abu Hurairah, haditsnya marfu’sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ صَلَّى صَلاَةً لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَهْىَ خِدَاجٌ

Barangsiapa yang melaksanakan shalat dan tidak membaca Al Fatihah di dalamnya, maka shalatnya itu kurang.” Perkataan ini diulang sampai tiga kali.[2]

Dalil: Wajib Diam Ketika Imam Membaca Al Fatihah

Berkebalikan dengan dalil di atas, ada beberapa dalil yang memerintahkan agar makmum diam ketika imam membaca surat karena bacaan imam dianggap sudah menjadi bacaan makmum.

Di antara dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآَنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al A’rof: 204)

Abu Hurairah berkata,

صَلَّى النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- بِأَصْحَابِهِ صَلاَةً نَظُنُّ أَنَّهَا الصُّبْحُ فَقَالَ « هَلْ قَرَأَ مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ ». قَالَ رَجُلٌ أَنَا. قَالَ « إِنِّى أَقُولُ مَا لِى أُنَازَعُ الْقُرْآنَ ».

Aku mendengar Abu Hurairah berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam shalat bersama para sahabatnya yang kami mengira bahwa itu adalah shalat subuh. Beliau bersabda: "Apakah salah seorang dari kalian ada yang membaca surat (di belakangku)?" Seorang laki-laki menjawab, "Saya. " Beliau lalu bersabda: "Kenapa aku ditandingi dalam membaca Al Qur`an?"[3]

Dalil lainnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

من كان له إمام فقراءة الإمام له قراءة

Barangsiapa yang shalat di belakang imam, bacaan imam menjadi bacaan untuknya.[4] Hadits ini dikritisi oleh para ulama.

Hadits lainnya lagi adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّمَا الإِمَامُ - أَوْ إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ - لِيُؤْتَمَّ بِهِ ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا ، وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا ، وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا ، وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ . فَقُولُوا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ . وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا

Sesungguhnya imam itu diangkat untuk diikuti. Jika imam bertakbir, maka bertakbirlah. Jika imam ruku’, maka ruku’lah. Jika imam bangkit dari ruku’, maka bangkitlah. Jika imam mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’, ucapkanlah ‘robbana wa lakal hamd’. Jika imam sujud, sujudlah.[5] Dalam riwayat Muslim pada hadits Abu Musa terdapat tambahan,

وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوا

Jika imam membaca (Al Fatihah), maka diamlah.

Menempuh Jalan Kompromi (Menjama’)

Metode para ulama dalam menyikapi dua macam hadits yang seolah-olah bertentangan adalah menjama’ di antara dalil-dalil yang ada selama itu memungkinkan.

Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah berkata, “Jika dua hadits bertentangan secara zhohir, jika memungkinkan untuk dijama’ antara keduanya, maka jangan beralih pada metode lainnya. Wajib ketika itu beramal dengan mengkompromikan keduanya terlebih dahulu.”

Syaikh Asy Syinqithi rahimahullah, ketika menjelaskan metode menggabungkan dalil-dalil, berkata, “Kami katakan, pendapat yang kuat menurut kami adalah melakukan jama’ (kompromi) terhadap dalil-dalil yang ada karena menjama’ dalil itu wajib jika memungkinkan untuk dilakukan.”

Menggabungkan atau mengkompromikan

atau menjama’ dalil lebih didahulukan daripada melakukan tarjih (memilih dalil yang lebih kuat) karena menjama’ berarti menggunakan semua dalil yang ada (di saat itu mungkin) sedangkan tarjih mesti menghilangkan salah satu dalil yang dianggap lemah. Demikian pelajaran yang sudah dikenal dalam ilmu uhsul. Sehingga lebih tepat melakukan jama’ (kompromi) dalil selama itu masih memungkinkan.

Penjelasan Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya hukum membaca Al Fatihah di belakang imam. Beliau mengatakan bahwa para ulama telah berselisih pendapat karena umumnya dalil dalam masalah ini, yaitu menjadi tiga pendapat.

Dua pendapat pertama adalah yang menyatakan tidak membaca surat sama sekali di belakang imam dan yang lainnya menyatakan membaca surat dalam segala keadaan. Pendapat ketiga yang dianut oleh kebanyakan salaf yang menyatakan bahwa jika makmum mendengar bacaan imam, maka hendaklah ia diam dan tidak membaca surat. Karena mendengar bacaan imam itu lebih baik dari membacanya. Jika makmum tidak mendengar bacaan imam, barulah ia membaca surat tersebut. Karena dalam kondisi kedua ini, ia membaca lebih baik daripada diam. Satu kondisi, mendengar bacaan imam itu lebih afdhol dari membaca surat. Kondisi lain, membaca surat lebih afdhol daripada hanya diam. Demikianlah pendapat mayoritas ulama seperti Malik, Ahmad bin Hambal, para ulama Malikiyah dan Hambali, juga sekelompok ulama Syafi’iyah dan ulama Hanafiyah berpendapat demikian. Ini juga yang menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i yang terdahulu dan pendapat Muhammad bin Al Hasan.

Jika kita memilih pendapat ketiga, lalu bagaimana hukum makmum membaca Al Fatihah di saat imam membacanya samar-samar, apakah wajib atau sunnah bagi makmum?

Ada dua pendapat dalam madzhab Hambali. Yang lebih masyhur adalah yang menyatakan sunnah. Inilah yang jadi pendapat Imam Asy Syafi’i dalam pendapatnya terdahulu.

Pertanyaan lainnya, apakah sekedar mendengar bacaan Al Fatihah imam ketika imam menjahrkan bacaannya wajib, ataukah sunnah? Lalu bagaimana jika tetap membaca surat di belakang imam ketika kondisi itu, apakah itu haram, atau hanya sekedar makruh?

Dalam masalah ini ada dua pendapat di madzhab Hambali dan lainnya. Pertama, membaca surat ketika itu diharamkan. Jika tetap membacanya, shalatnya batal. Inilah salah satu dari dua pendapat yang dikatakan oleh Abu ‘Abdillah bin Hamid dalam madzhab Imam Ahmad. Kedua, shalat tidak batal dalam kondisi itu. Inilah pendapat mayoritas. Pendapat ini masyhur di kalangan madzhab Imam Ahmad.

Ibnu Taimiyah rahimahullah selanjutnya mengatakan,

Yang dimaksud di sini adalah tidak mungkin kita beramal dengan mengumpulkan seluruh pendapat. Akan tetapi, puji syukur pada Allah, pendapat yang shahih adalah pendapat yang berpegang pada dalil syar’i sehingga nampaklah kebenaran.

Intinya membaca Al Fatihah di belakang imam, kami katakan bahwa jika imam menjahrkan bacaannya, maka cukup kita mendengar bacaan tersebut. Jika tidak mendengarnya karena jauh posisinya jauh dari imam, maka hendaklah membaca surat tersebut menurut pendapat yang lebih kuat dari pendapat-pendapat yang ada. Inilah pendapat Imam Ahmad dan selainnya. Namun jika tidak mendengar karena ia tuli, atau ia sudah berusaha mendengar namun tidak paham apa yang diucapkan, maka di sini ada dua pendapat di madzhab Imam Ahmad. Pendapat yang terkuat, tetap membaca Al Fatihah karena yang afdhol adalah mendengar bacaan atau membacanya. Dan saat itu kondisinya adalah tidak mendengar. Ketika itu tidak tercapai maksud mendengar, maka tentu membaca Al Fatihah saat itu lebih afdhol daripada diam.[6]

Pembelaan

Dalil yang menunjukkan bahwa bacaan imam juga menjadi bacaan bagi makmum dapat dilihat pada hadits Abu Bakroh di mana dia tidak disuruh mengulangi shalatnya.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari jalan Al Hasan, dari Abu Bakroh bahwasanya ia mendapati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang ruku’. Lalu Abu Bakroh ruku’ sebelum sampai ke shof. Lalu ia menceritakan kejadian yang ia lakukan tadi kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

زَادَكَ اللَّهُ حِرْصًا وَلاَ تَعُدْ

Semoga Allah menambah semangat untukmu, namun jangan diulangi.[7]

Lalu bagaimana dengan hadits,

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al Fatihah”.[8]

Ada dua jawaban yang bisa diberikan:

  1. Yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah tidak sempurna shalatnya. Yang menunjukkan maksud seperti ini adalah dalam hadits Abu Hurairah disebutkan “غير تمام”, tidak sempurna.
  2. Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al Fatihah dalam shalatnya, namun ini berlaku bagi imam, orang yang shalat sendiri dan makmum ketika shalat siriyah (yang tidak dikeraskan bacaannya). Adapun makmum dalam shalat jahriyah (yang dikeraskan bacaannya), maka bacaan imam adalah bacaan bagi makmum. Jika ia mengaminkan bacaan Al Fatihah yang dibaca oleh imam, maka ia seperti membaca surat tersebut. Maka tidak benar jika dikatakan bahwa orang yang cuma menyimak bacaan imam tidak membaca surat Al Fatihah, bahkan itu dianggap membaca meskipun ia mendapati imam sudah ruku’, lalu ia ruku’ bersama imam.
Catatan: Sebagaimana penulis pernah membaca dari penjelasan Syaikh Sholeh Al Munajjid dalam Fatawa Islam As Sual wa Jawab: Seseorang dianggap mendapatkan satu raka’at ketika ia mendapati ruku’, meskipun ketika itu  ia belum sempat membaca Al Fatihah secara sempurna atau ia langsung ruku’ bersama imam.

Pendapat Hati-Hati

Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah memilih pendapat yang hati-hati dalam masalah ini. Dalam Al Mulakhosh Al Fiqhi, beliau mengatakan, “Apakah membaca Al Fatihah itu wajib bagi setiap yang shalat (termasuk makmum ketika imam membaca Al Fatihah secara jahr, pen), ataukah hanya bagi imam dan orang yang shalat sendiri?” Kemudian jawab beliau hafizhohullah, “Masalah ini terdapat perselisihan di antara para ulama. Pendapat yang hati-hati, makmum tetap membaca Al Fatihah pada shalat yang imam tidak menjahrkan bacaannya, begitu pula pada shalat jahriyah ketika imam diam setelah baca Al Fatihah.”[9]

Menurut penulis, pendapat yang menempuh jalan kompromi seperti yang ditempuh oleh Ibnu Taimiyah itu pun sudah cukup ahsan (baik). Namun penjelasan Syaikh Sholeh Al Fauzan di atas sengaja penulis tambahkan supaya kita lebih memilih pendapat yang lebih hati-hati agar tidak terjatuh dalam perselisihan ulama yang ada. Wallahu Ta’ala a’lam.[10]

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
[1] HR. Bukhari no. 756 dan Muslim no. 394

[2] HR. Muslim no. 395.

[3] HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, An Nasai dan Ibnu Majah, juga yang lainnya. Hadits ini shahih.

[4] HR. Ahmad dan Ibnu Majah no. 850. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[5] HR. Bukhari no. 733 dan Muslim no. 411.

[6] Lihat Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426, 23/265-268

[7] HR. Bukhari no. 783.

[8] HR. Bukhari no. 756 dan Muslim no. 394

[9] Al Mulakhosh Al Fiqhi, Syaikh Sholeh Al Fauzan, terbitan Ar Riasah Al ‘Ammah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, cetakan kedua, 1430 H, 1/128.

[10] Sebagian besar bahasan ini adalah faedah dari penjelasan Syaikh ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah As Suhaim dalam Syarh Ahadits ‘Umdatul Ahkam, hadits no. 101 tentang membaca Al Fatihah, di sini: http://www.saaid.net/Doat/assuhaim/omdah/094.htm

Ihsanoglu Peringatkan Pejabat DK PBB atas Bahaya yang Mengancam Al-Aqsha

Profesor Ekmeleddin Ihsanoglu, Sekretaris Jenderal Organisasi Konferensi Islam, telah mengirim pesan ke menteri-menteri luar negeri anggota tetap Dewan Keamanan PBB untuk memperingatkan mereka bahwa ancaman serius yang membahayakan Masjid suci Al-Aqsha Masjid di Yerusalem yang diduduki.


Ihsanoglu menggarisbawahi bahwa OKI menganggap Masjid Al-Aqsha dalam posisi garis merah dan otoritas pendudukan Israel (IOA) bertanggung jawab sepenuhnya atas apa yang mungkin terjadi sebagai akibat dari kerugian yang dilakukan untuk tempat suci tersebut.

Ia mendesak para pejabat internasional untuk memblokir IOA dari pelanggaran lebih lanjut terhadap Al-Aqsha dan mengizinkan lembaga wakaf Islam untuk memulai pemeliharaan yang diperlukan untuk Masjid suci itu.

Ihsanoglu memberikan pesan terpisah untuk Dirjen UNESCO meminta dia untuk mempercepat pembentukan komite pakar internasional dengan partisipasi para ahli dari negara-negara anggota OKI untuk mengevaluasi keselamatan bangunan kompleks masjid Al-Aqsha.

INDIA: Subhanallah! Bocah Perempuan Usia 10 Tahun, Beragama HINDU Cita-Cita Jadi Hafizhah!!

INDIA: Subhanallah! Bocah Perempuan Usia 10 Tahun, Beragama HINDU Cita-Cita Jadi Hafizhah!!
INDIA: Subhanallah! Bocah Perempuan Usia 10 Tahun, Beragama HINDU Cita-Cita Jadi Hafizhah!!
Jumat, 22 Juni 07

Ada suatu pemandangan yang langka terjadi di India, seorang bocah wanita baru berusia 10 tahun beragama Hindu giat belajar al Qur ??an dan bertekad menghafalnya hingga khatam 30 juz.

Itulah realitasnya.! Seorang bocah beragama Hindu bernama Himlata memutuskan untuk menghafal al Quran dengan bantuan kedua orangtuanya yang juga beragama Hindu di kawasan Behar, sebelah timur India. Bocah ini belajar di salah satu madrasah Tahfizhul Qur ??an untuk meraih gelar ??Hafizhah ??. Gelar ??Hafizh ?? atau ??Hafizhah ?? diberikan kepada siapa saja yang berhasil menghafal al Qur ??an 30 juz.

Guru sang bocah seperti yang dilansir situs Arabonline menjelaskan, ??Sang bocah memulai dengan terlebih dulu belajar bahasa Urdu, kemudian belajar bahasa Arab. Ia sekarang tengah giat menghafal al Qur ??an 30 juz. Ini tentu merupakan hal langka terjadi di kalangan non Muslim. ?�

Dalam sejumlah wawancaranya dengan salah satu kantor berita India, sang bocah ??yang mengenakan hijab di tengah bocah-bocah Muslimah lainnya di sekolah al Qur ??an itu- menjelaskan, ??Aku ingin menjadi salah seorang penghafal al Qur ??an al Karim. ?� Ia menambahkan, ??Aku akan berusaha untuk itu. ?�

Dengan bantuan kedua orang tuanya dan adik laki-lakinya yang juga berkeinginan mengikuti jejak kakaknya itu, sang bocah perempuan ini tidak menyadari bahwa dirinya harus menghadapi tantangan besar, yaitu menentang sejarah panjang terkait perbedaan mencolok antara agama Islam dan Hindu.

Mengenal Imam al-Bukhary

Muhammad Ibnu Abi Hatim berkata, ??Saya terilham/menghafal hadits ketika masih dalam asuhan belajar. ?� Lalu saya bertanya, ??Umur berapakah anda pada waktu itu? ?� Beliau menjawab, ??Sepuluh tahun atau kurang. ?� (Riwayat al-Farbari dari Muhammad Ibnu Abi Hatim, seorang juru tulis al-Imam al-Bukhari). Suatu ketika al-Imam al-Bukhari tiba di Baghdad. Kehadiran beliau didengar oleh para ahlul hadits negeri itu. Maka, berkumpullah mereka untuk menguji kehebatan hafalan beliau tentang hadits.

Syahdan para ulama tersebut sengaja mengumpulkan seratus buah hadits. Susunan, urutan dan letak matan serta sanad seratus hadits tersebut sengaja dibolak-balik. Matan dari sebuah sanad diletakkan untuk sanad lain, sementara suatu sanad dari sebuah matan diletakkan untuk matan lain dan begitulah seterusnya. Seratus buah hadits itu dibagikan kepada sepuluh orang tim penguji, hingga masing-masing mendapat bagian sepuluh buah hadits.

Maka tibalah ketetapan hari yang telah disepakati. Berbondong-bondonglah para ulama dan tim penguji itu, serta para ulama dari Khurasan dan negeri-negeri lain serta penduduk Baghdad menuju tempat yang telah ditentukan.

Ketika suasana majlis telah menjadi tenang, salah seorang dari kesepuluh tim penguji mulai memberikan ujiannya. Beliau membacakan sebuah hadits yang telah dibolak-balik matan dan sanadnya kepada al-Imam al-Bukhari. Ketika ditanyakan kepada beliau, al Imam al-Bukhari menjawab, ??Saya tidak kenal hadits itu. ?� Demikian seterusnya satu persatu dari kesepuluh hadits penguji pertama itu dibacakan, dan al-Imam al-Bukhari selalu menjawab, ??Saya tidak kenal hadits itu. ?�

Beberapa ulama yang hadir saling berpandangan seraya bergumam, ??Orang ini berarti faham. ?� Akan tetapi ada di kalangan mereka yang tidak mengerti, hingga menyimpulkan bahwa al-Imam al-Bukhari terbatas pengetahuannya dan lemah hafalannya.

Orang kedua maju. Beliau juga melontarkan sebuah hadits yang telah dibolak-balik sanad dan matannya, yang kemudian dijawab pula, ??Saya tidak kenal hadits itu ?�. Begitulah, orang kedua ini pun membacakan sepuluh hadits yang menjadi bagiannya, dan seluruhnya dijawab beliau, ??Saya tidak kenal hadist itu. ?�
Begitulah selanjutnya orang ketiga, keempat, kelima hingga sampai orang kesepuluh, semuanya membawakan masing-masing sepuluh hadits yang telah dibolak-balik matan dan sanadnya. Dan al-Imam al-Bukhari memberikan jawaban tidak lebih daripada kata-kata, ??Saya tidak kenal hadits itu. ?�

Setelah semuanya selesai menguji, beliau kemudian menghadap orang pertama seraya berkata, ??Hadits yang pertama anda katakan begini, padahal yang benar adalah begini, lalu hadits anda yang kedua anda katakan begini padahal yang benar seperti ini. Begitulah seterusnya hingga hadits kesepuluh disebutkan oleh beliau kesalahan letak sanad serta matannya, dan kemudian dibetulkannya kesalahan itu hingga semua sanad dan matannya menjadi benar kedudukannya.

Demikian pula seterusnya yang dilakukan oleh al-Bukhari kepada para penguji berikutnya hingga sampai kepada penguji kesepuluh. Maka, orang-orang pun lantas mengakui serta menyatakan kehebatan hafalan serta kelebihan beliau. Al-Hafizh Ibnu Hajar al- ??Asqalani mengatakan, ??Yang hebat bukanlah kemampuan al-Bukhari dalam mengembalikan kedudukan hadits-hadits yang salah, sebab beliau memang hafal, tetapi yang hebat justru hafalnya beliau terhadap kesalahan yang dilakukan oleh para penguji tersebut secara berurutan satu persatu hanya dengan sekali mendengar. ?�

Siapakah al-Imam al-Bukhari

Beliau adalah Abu Abdillah, bernama Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ja ??fi. Kakek moyang Bardizbah (begitulah cara pengucapannya menurut Ibnu Hajar al- ??Asqalani) adalah orang asli Persia. Bardizbah, menurut penduduk Bukhara berarti petani. Sedangkan kakek buyutnya, al-Mughirah bin Bardizbah, masuk Islaam di tangan al-Yaman al-Ja ??fi ketika beliau datang di Bukhara. Selanjutnya nama al-Mughirah dinisbatkan (disandarkan) kepada al-Ja ??fi sebagai tanda wala ?? kepadanya, yakni dalam rangka mempraktekkan pendapat yang mengatakan, bahwa seseorang yang masuk Islam, maka wala ??nya kepada orang yang mengislamkannya.

Adapun mengenai kakeknya, Ibrahim bin al-Mughirah, Ibnu Hajar al- ??Asqalani mengatakan, ??Kami tidak mengetahui (menemukan) sedikit pun tentang kabar beritanya. ?� Sedangkan tentang ayahnya, Ismail bin Ibrahim, Ibnu Hibban telah menuliskan tarjamah (biografi)-nya dalam kitabnya ats-Tsiqat (orang-orang yang tsiqah/terpercaya) dan beliau mengatakan, ??Ismail bin Ibrahim, ayahnya al-Bukhari, mengambil riwayat (hadits) dari Hammad bin Zaid dan Malik. Dan riwayat Ismail diambil oleh ulama-ulama Irak. ?� Al-Hafizh Ibnu Hajar al- ??Asqalani juga telah menyebutkan riwayat hidup ismail ini di dalam Tahdzibut Tahdzib. Ismail bin Ibrahim wafat ketika Muhammad (al-Bukhari) masih kecil.

Kelahiran Dan Wafatnya

Dilahirkan di Bukhara, sesudah shalat Jum ??at pada tanggal 13 Syawal 194 H. Beliau dibesarkan dalam suasana rumah tangga yang ilmiah, tenang, suci dan bersih dari barang-barang haram. Ayahnya, Ismail bin Ibrahim, ketika wafat seperti yang diceritakan oleh Muhammad bin Abi Hatim, juru tulis al-Bukhari, bahwa aku pernah mendengar Muhammad bin Kharasy mengatakan, ??Aku mendengar bahwa Ahid Hafs berkata, ??Aku masuk menjenguk Ismail, bapaknya Abu Abdillah (al-Bukhari) ketika beliau menjelang wafat, beliau berkata, ??Aku tidak mengenal dari hartaku barang satu dirham pun yang haram dan tidak pula satu dirham pun yang sybhat. ?�

Al-Bukhari wafat di Khartank sebuah desa di negeri Samarkhand, malam Sabtu sesudah shalat Isya ??, bertepatan dengan malam Iedul fitri, tahun 256 H dan dikuburkan pada hari Iedul Fitri sesudah shalat Zhuhur. Beliau wafat dalam usia 62 tahun kurang 13 hari dengan meninggalkan ilmu yang bermanfaat bagi seluruh kaum muslimin, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah.

Pertumbuhan Dan Perkembangannya

Ketika ayahnya wafat, beliau masih kecil, sehingga beliau besar dan dibesarkan dalam asuhan ibunya. Beliau mencari ilmu ketika masih kecil dan pernah menceritakan tentang dirinya seperti disebutkan oleh al-Farbari dari Muhammad bin Abi Hatim. Muhammad bin Abi Hatim berkata, ??Aku pernah mendengar al-Bukhari mengatakan, ??Aku diilhami untuk menghafal hadits ketika masih dalam asuhan mencari ilmu. ?� Lalu aku bertanya, ??Berapa umur anda pada waktu itu? ?� Beliau menjawab, ??Sepuluh tahun atau kurang ?? dan seterusnya hingga perkataan beliau, ??Ketika aku menginjak umur enam belas tahun, aku telah hafal kitab-kitab karya Ibnul Mubarak dan Wakil. Dan aku pun tahu pernyataan mereka tentang Ash-hab (Ahlu) ra ??yu ?�. Beliau berkata lagi, ??Kemudian aku berangkat haji bersama ibuku dan saudaraku, setelah menginjak usia delapan belas tahun, aku telah menyusun kitab tentang sahabat dan tabi ??in. Kemudian menyusun kitab tarikh di Madinah di samping kuburan Nabi shallallahu ??alaihi wa sallam

Semenjak kecil beliau sibuk menggali ilmu dan mendengarkan hadits dari berbagai negeri, seperti di negerinya sendiri. Dan beliau telah beberapa kali mengunjungi Baghdad, hingga penduduk di sana mengakui kelebihannya dan penguasaannya terhadap ilmu riwayah dan dirayah.

Begitulah, singkatnya beliau telah mengunjungi berbagai kota di Irak dalam rangka mencari ilmu hadits dari tokoh-tokoh negeri tersebut, misalnya Bashrah, Balkh, Kufah dan lain-lain. Beliau telah mendengarkan dan menggali hadits dari sejumlah banyak tokoh pembawa hadits. Diriwayatkan oleh Muhammad bin Abi Hatim, bahwasanya beliau berkata, ??Aku tidak pernah menulis melainkan dari orang-orang yang mengatakan bahwa al-Iman adalah ucapan dan tindakan. ?�

Jumlah Hadits Yang Dihafal

Muhammad bin Hamdawaih mengatakan, ??Aku mendengar al-Bukhari berkata, bahwa aku hafal seratus ribu hadits shahih dan dua ratus ribu hadits tidak shahih. ?�

Kitab-Kitab Yang Disusun

Yang paling pokok adalah kitab al-Jamiush shahih (Shahihul Bukhari) yaitu kitab hadits tershahih diantara kitab hadits lainnya. Selain itu beliau menyusun juga ktiab al-Adabul Mufrad, Raf ??ul Yadain fish Shalah, al-Qira ??ah khalfal Iman, Birrul Walidain, at-Tarikh ash-Shagir, Khalqu Af ??aalil ??Ibaad, adl-Dlu ??afa (hadits-hadits lemah), al-Jaami ?? al-Kabir, al-Musnad al-Kabir, at-Tafsir al-Kabir, Kitabul Asyribah, Kitabul Hibab, Asaami ash-Shahabah (Nama-nama para shahabat) dan lain sebagainya.

Contoh Kekaguman Orang Terhadap Al-Bukhari

Al-Imam al-Bukhari rahimahullah, merupakan barometer bagi guru-gurunya dan manusia yang tahu dan hidup pada zamannya maupun sesudahnya. al-Imam al-Hafizh adz-Dzahabi dan al-Hafizh Ibnu Hajar al- ??Asqalani telah menyebutkan secara khusus tentang pujian dan jasa-jasa beliau dalam kitabnya masing-masing. Adz-Dzahabi dalam Tadzkiratul huffaazh dan Ibnu Hajar dalam Tahdzibut Tahdzib.

Berikut ini beberapa contoh pujian dan kekaguman mereka. Muhammad bin Abi Hatim mengatakan, bahwa aku mendengar Yahya bin Ja ??far al-Baikundi berkata, ??Seandainya aku mampu menambahkan umur Muhammad bin Ismail (al-Bukhari) dengan umurku, niscaya aku lakukan sebab kematianku hanyalah kematian seorang sedangkan kematiannya berarti lenyapnya ilmu. ?�

Raja ?? bin Raja ?? mengatakan, ??Dia, yakni al-Bukhari, merupakan satu ayat di antara ayat-ayat Allah yang berjalan di atas permukaan bumi. ?�

Abu Abdullah al-Hakim dalam Tarikh Naisabur berkata, ??Dia adalah Imam Ahlul hadits, tidak ada seorang pun di antara Ahlul Naql yang mengingkarinya. ?�

Shahihul Jami ?? Atau Shahih Bukhari

Seluruh hadits yang termuat di dalamnya adalah hadits-hadits shahih yang telah tetap dari Rasulullah shallallahu ??alaihi wa sallam. Bahkan semua Mu ??allaqaat dalam Shahih al-Bukhari dinyatakan shahih oleh para ulama Ahlul hadits. Adapun contoh pernyataan ulama tentang Shahih al-Bukhari seperti dikatakan al-Hafizh Ibnu Katsir dalam al-Bidaayah wan Nihaayah, ??Para ulama telah bersepakat menerimanya (yakni Shahihul Bukhari) dan menerima keshahihan apa-apa yang ada di dalamnya, demikian pula seluruh ahlul Islam. ?�

Jadi di samping Shahih Muslim, Shahih al-Bukhari adalah kitab tershahih nomor dua setelah al-Qur ??an sebagaimana disebutkan dan disepakati oleh para ulama, di antaranya oleh as-Subakti.

Terusirnya Imam Al-Bukhari Dari Bukhara

Ghonjar mengatakan dalam kitab Tarikhnya, ??Aku mendengar Ahmad bin Muhammad bin Umar berkata, ??Aku mendengar Bakar bin Munir mengatakan, ??Amir Khalid bin Ahmad Adz-Dzuhail, amir penguasa Bukhara, mengirim utusan kepada Muhammad bin Ismail, yang isinya, ??Bawalah padaku kitab Jaami ??ush Shahih dan at-Tarikh supaya aku bisa mendengar dari kamu. ?� Maka, berkatalah al-Bukhari kepada utusan tersebut, ??Katakanlah kepadanya bahwa sesungguhnya aku tidak akan merendahkan ilmu dan aku tidak akan membawa ilmuku itu ke hadapan pintu para sultan. Apabila dia butuh (jika ilmu itu dikehendaki), maka hendaknya dia datang kepadaku di masjidku atau di rumahku. Kalau hal ini tidak menyenangkan wahai sultan, maka laranglah aku untuk mengadakan majlis ilmu, supaya pada hari kiamat aku punya alasan di hadapan Allah bahwa aku tidak menyembunyikan ilmu. ?� Ghonjar mengatakan, ??Inilah yang menyebabkan terjadinya krisis di antara keduanya. ?�

Al-Hakim berkata, ??Aku mendengar Muhammad bin al- ??Abbas adh-Dhobby mengatakan, ??Aku mendengar Abu Bakar bin Abu Amr berkata, ??Perginya Abu Abdillah al-Bukhari dari negeri Bukhara disebabkan Khalid bin Ahmad Khalifah bin Thahir meminta beliau untuk hadir di rumahnya supaya membacakan kitab at-Tarikh dan al-Jaami ??ush Shahih kepada anak-anaknya, tapi beliau menolak. Beliau katakan, ??Aku tidak mempunyai waktu jika hanya orang-orang khusus yang mendengarkannya (mendengarkan ilmuku, pen). Maka Khalid bin Ahmad meminta tolong kepada Harits bin Abi al-Warqa` dan lainnya dari penduduk Bukhara untuk bicara mempermasalahkan madzhabnya. Akhirnya Khalid bin Ahmad mengusir beliau dari Bukhara.

Demikianlah sekelumit tentang Imam Bukhari, beliau juga pernah difitnah sebagai orang yang mengatakan, bahwa bacaanku terhadap al-Qur ??an adalah makhluk. Padahal beliau tidak mengatakan demikian dan bahkan secara tegas beliau membantah bahwa orang yang membawa berita tersebut adalah pendusta. Beliau bahkan mengatakan, ??Bahwa al-Qur ??an adalah kalamullah bukan makhluk, sedangkan perbuatan-perbuatan hamba adalah makhluk. ?� (lihat Hadyu as-Sari Muqadimah Fathul Bari bagian akhir halaman 490-491). Wallahu a ??lam.

(SUMBER: Majalah as-Sunnah, no.02/Th.I, Jumada Tsani-Rajab 1413 H/Desember 1992 M, diterjemahkan dan disusun oleh Ahmas Faiz dengan sedikit perubahan) ketika malam terang bulan. ?� Beliau melanjutkan perkataannya, ??Dan setiap kali ada nama dalam at-Tarikh tersebut, pasti aku mempunyai kisah tersendiri tentangnya, tetapi aku tidak menyukai jika kitabku terlalu panjang.


Surat Terbuka Lauren Booth: Mengapa Saya Memilih Islam


REPUBLIKA.CO.ID, LONDON–Belum sebulan menjadi mualaf, ipar mantan perdana menteri Inggris Tony Blair,  Lauren Booth, kembali menjadi bahan berita. Kali ini ia disebut menganut Islam syiah garis keras. Tudingan itu, dilatari perjalanannya ke Iran yang mengantarkannya menjadi Muslim.
Publikasi lain menyebut, ia menjadi Muslim hanya demi mencari popularitas. “Ia ingin diperhatikan,” demikian sebagian orang mengomentari.
Alih-alih menanggapi semua tudingan, ia malah membuat surat terbuka tentang rasa syukurnya menjadi seorang Muslim. Suratnya itu dimuat di harian Daily Mail edisi awal pekan ini. Berikut ini petikannya:

Ditanya mengenai penjelasan singkat tentang bagaimana saya — seorang jurnalis, orang tua  tunggal yang juga wanita karier, bekerja di media Barat — memilih agama ini, saya selalu menjelaskan tentang pengalaman spiritual paling intens di sebuah masjid di Iran sebulan lalu.
Tetapi, hal ini membawa saya menengok ke belakang, pada Januari 2005, ketika saya datang seorang diri ke Tepi Barat untuk meliput pemilu di sana yang nantinya diterbitkan di The Mail edisi Minggu. Asal Anda tahu, sebelum pergi ke sana, saya belum pernah menghabiskan waktu dengan seseorang berdarah Arab, atau seseorang beragama Islam.
Seluruh pengalaman mungkin akan sangat mengejutkan, namun bukan untuk alasan yang mungkin saya harapkan. Sangat banyak informasi yang kita tahu tentang orang-orang yang mengikuti ajaran Nabi Muhammad, walau belakangan saya sadari banyak yang bias.
Intinya, saya tetap terbang ke Timur Tengah, dengan beragam pikiran berkecamuk di kepala saya: ekstremis radikal, kaum fanatik, kawin paksa, bom bunuh diri, dan jihad. Tak banyak brosur perjalanan yang saya bawa.
Pertama menginjakkan kaki, saya datang tanpa mantel, karena otoritas bandara Israel menahan kopor saya. Saat berjalan di Ramallah, saya menggigil, sebelum kemudian seorang wanita tua mencengkeram tangan saya.
Berbicara tak jelas dalam bahasa Arab yang cepat, ia membawa saya masuk ke dalam rumah di sisi jalan. Oh, apakah saya tengah diculik oleh seorang teroris? Saya masih bingung dan bertanya-tanya, ketika ia membuka lemari pakaian dan menarik sebuah mantel, topi, dan scarf.
Saya keluar dari rumah itu dengan mengenakan mantel, topi, dan scaft pemberiannya. Ciuman wanita tua itu mengantarkan kehangatan pada perjalanan saya. Kami tak saling bertukar kata.
Kejadian itu sangat sulit saya lupakan. Dalam wujud yang berbeda, kehangatan yang sama saya dapatkan ratusan kali. Hal yang sungguh tak saya dapatkan dalam apapun yang telah saya baca sebelumnya, atau terlihat di artikel manapun.
Sejak itu, saya setidaknya beberapa kali pergi ke sana selama tiga tahun. Pertama kali saya pergi untuk urusan kerjaan, maka kali lain saya pergi untuk alasan yang berbeda: bergabung dengan relawan pembawa bantuan dan grup pro-Palestina. Saya merasa tertantang oleh kesulitan yang dialami Palestina. Penting untuk diingat, ada umat Kristen di Tanah Suci ini yang telah tinggal selama 2.000 tahun dan bahwa mereka juga menderita di bawah pendudukan ilegal Israel.
Secara bertahap saya menemukan ekspresi seperti ‘Masya Allah!’ dan ‘Alhamdullilah!’ (mirip dengan ‘Haleluya’), dan itu mulai masuk dalam percakapan sehari-hari saya. Ini adalah seruan gembira yang berasal dari 100 nama Tuhan (maksudnya mungkin 99, red), atau Allah.
Dari semula saya selalu gugup bila berada di dekat kelompok Muslim, kini saya malah mencoba untuk mendekati mereka. Sebuah tantangan bisa ada di dekat kaum terpelajar, yang lebih di atas semua itu, adalah sangat ramah dan murah hati.
Sejak itu, saya tak ragu lagi untuk memulai perubahan pemahaman politik, bahwa sesungguhnya warga  Palestina adalah sebuah keluarga yang hangat ketimbang tersangka teror, dan kaum Muslim adalah sebuah komunitas ketimbang serangkaian “Collateral Damage”.
(OK, saya hentikan di sini dulu, karena saya harus shalat selama 10 menit. Sekarang pukul 01.30 PM. Ada lima kali waktu berdoa dalam Islam tiap hari, sepanjang tahun sejak terbit matahari hingga malam hari). 
Belum sebulan menjadi mualaf, ipar mantan perdana menteri Inggris Tony Blair,  Lauren Booth, kembali menjadi bahan berita. Kali ini ia disebut menganut Islam syiah garis keras. Tudingan itu, dilatari perjalanannya ke Iran yang mengantarkannya menjadi Muslim. Publikasi lain menyebut, ia menjadi Muslim hanya demi mencari popularitas. “Ia ingin diperhatikan,” demikian sebagian orang mengomentari.
Alih-alih menanggapi semua tudingan, ia malah membuat surat terbuka tentang rasa syukurnya menjadi seorang Muslim. Suratnya itu dimuat di harian Daily Mail edisi awal pekan ini. Berikut ini bagian dua dari petikan suratnya yang sebelumnya dimuat di Republika Online edisi rabu (3/11):
Bagaimana tentang perjalanan spiritual? Itu tak pernah terjadi pada saya. Meskupun, saya suka berdoa dan sejak kecil sudah mendengar cerita tentang Yesus dan para nabi sebelumnya. Saya dibesarkan dalam keluarga yang sangat sekuler.
Mungkin apresiasi saya atas budaya Islam, terutama pada perempuan Muslim, yang menarik saya untuk mengapresiasi Islam. Perempuan Islam yang saya lihat di Inggris adalah yang menutup seluruh tubuhnya dari kepala hingga ujung kaki, kadang berjalan di belakang suami mereka, dengan anak-anak berbaju panjang di sekitar mereka.
Ini sungguh kontras dengan kondisi wanita profesional Eropa yang umumnya sangat memperhatikan penampilannya. Saya, misalnya, sangat bangga dengan rambut pirang saya, dan ya, belahan dada saya. Ini seolah menjadi “jualan” utama kami.
Saat bekerja di dunia broadcast televisi, betapa hal itu makin jelas terasa: presenter wanita menghabiskan waktu hingga satu jam untuk merias wajah dan penampilan mereka, hanya untuk membahas satu topik “serius” yang memakan waktu tak lebih dari 15 menit. Apakah ini sebagian bentuk liber-ation? Saya mulai bertanya-tanya seberapa banyak penghormatan bagi gadis-gadis dan perempuan dalam masyarakat “bebas” kita.
Pada tahun 2007 saya pergi ke Libanon. Saya menghabiskan waktu empat hari bersama para mahasiswi di sana, sebagian dari mereka mengenakan cadar. Mereka tetap tampak menawan, mandiri, dan bebas berpendapat. Mereka semua bukan gadis yang pemalu, atau mereka akan segera dipaksa untuk menikah, seperti yang sering kita dengar di Barat.
Suatu waktu mereka menemani saya mewawancarai seorang syekh yang disebut-sebut dekat dengan milisi Hizbullah. Saya sangat terkejut ketika melihat bagaimana syekh itu memperlakukan pada gadis yang menemani saya ini. Saat Syekh Nabil  yang mengenakan surban dan jubah cokelat berbicara tentang topik yang “menantang” — tentang pertukaran tawanan — mereka tergelitik untuk angkat bicara. Mereka bebas bertanya dan menyatakan apapun, termasuk angkat tangan untuk menyela sang Syekh yang tengah berbicara.
Ada hal lain yang berubah kemudian dalam diri saya.  Semakin banyak waktu saya habiskan di Timur Tengah, semakin sering saya minta diantar ke masjid. Hanya untuk kepentingan pesiar, begitu saya selalu meyakinkan pada diri saya. Walaupun faktanya, saya mendapatkan lebih dari sekadar “wisata” belaka.
Bebas dari aneka patung dan bangku, saya melihat mereka duduk begitu saja dengan anak-anak bermain di sekitarnya, beberapa memakan bekal mereka, dan wanita tua duduk di atas kursi roda mereka membaca Alquran. Mereka membawa “kehidupan” mereka ke masjid, dan membawa “masjid” ke dalam rumah-rumah mereka.
Dan tibalah suatu malam saat saya mengunjungi kota Qom, di bawah kubah emas yang disebut Fatimah Mesumah (Fatimah Sang Teladan), sama seperti perempuan lainnya di sana, tiba-tiba saya bergumam nama Allah beberapa kali, ketika memegang pagar makam Fatimah.
Ketika saya duduk, sebuah kenikmatan spiritual menyergap saya. Bukan kenikmatan yang seolah mengangkat kita dari tanah, tapi kenikmatan yang memberi kedamaian penuh. Saya duduk di sana untuk waktu yang lama. Seorang wanita muda di samping saya membisikkan, “Suatu keajaiban tengah terjadi pada Anda”.
Ya, seketika saya tahu. Saya bukan lagi “turis dalam Islam”, tapi telah menjadi umat, bagian dari komunitas Muslim, dan terkait dengan seluruh Muslimin.
Untuk pertama kalinya saya merasakan ingin lari dari situasi ini. Ada beberapa alasan; Apakan betul saya telah siap berpindah agama? Apa yang akan ada dalam pikiran teman-teman dan keluarga kalau saya menjadi Muslim? Apakah saya siap untuk mengubah banyak hal dalam perilaku keseharian saya?
Dan yang terjadi kemudian adalah hal yang benar-benar aneh. Saya tidak merasa khawatir tentang hal-hal itu, karena entah bagaimana menjadi seorang Muslim sangat mudah – meskipun masalah yang akan saya hadapi sangat berbeda, tentu saja.
Untuk memulai, Islam menuntut banyak belajar, namun saya ibu dua anak dan bekerja penuh waktu. Anda diharapkan untuk membaca Alquran dari awal hingga akhir, ditambah dengan bertemu imam dan segala macam aturan bagi orang yang sudah tercerahkan. Kebanyakan orang akan menghabiskan berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sebelum menyatakan keislamannya. Saya bisa melewatinya.
Kini saya menjalin hubungan dengan beberapa masjid di North London, dan saya pergi ke sana setidaknya sekali seminggu. Saya tidak mengkotakkan diri saya apakah saya seorang Syiah atau Sunni. Bagi saya, hanya ada satu Islam dan satu Allah.
Mengadopsi pakaian, harus saya akui, lebih sulit dari yang Anda pikirkan. Menggunakan jilbab artinya saya berubah secara lebih cepat lagi. Dan, saya melakukannya beberapa pekan lalu. Untunglah, cuaca di luar dingin, jadi hanya sedikit orang yang memperhatikan.
Beberapa orang di tempat kerja saya bisa menerima, sebagian lain mencibir, bahkan menganggap palsu konversi keyakinan saya. Tapi sekarang, saya mulai bisa mengabaikan komentar-komentas negatif mereka. Beberapa orang mungkin tak bisa paham tentang perjalanan spiritual, dan berbincang tentang itu justru membuat mereka ketakutan.
Lepas dari semua itu, satu yang menjadi perhatian saya saat ini adalah: saya akan tetap profesional. Beberapa aktivias lama akan tetap saya lakukan. Saya akan tetap menjadi aktivis pro-Palestina, dan tak akan berhenti. Inggris adalah negara yang lebih toleran, setidaknya dibanding Prancis dan Jerman.
Saya beruntung bahwa saya mempunyai hubungan yang kuat dengan orang-orang di sekitar saya. Reaksi dari teman-teman saya yang non-Muslim lebih pada penasaran daripada bermusuhan. “Apakah itu akan mengubahmu?” Mereka bertanya. “Bisakah kita tetap berteman? Bisakah kita pergi minum?”
Jawaban atas dua pertanyaan pertama adalah: ya. Yang terakhir kemungkinan besar adalah, tidak.
Hubungan saya dengan ayah saya mungkin memang tidak bagus, dan susah memintanya memahami konversi keyakinan saya. Saya dan ibu saya memiliki hubungan yang buruk sejak saya menginjak dewasa, namun kami membangun sebuah “jembatan” hubungan dan dia selalu mendukung saya. Ketika saya bilang saya menjadi Muslim, dia menjawab, “Bukan menjadi itu (Muslim). Kudengar tadinya kau menjadi Budha.” Namun kini dia memahami dan menerimanya.
Suatu saat jika harus menikah lagi, saya ingin suami saya seorang Muslim. Jika ditanya apakah anak-anak saya akan menjadi Muslim juga, saya tak bisa menjawabnya. Semua terserah mereka. Anda tak bisa mengubah hati seseorang bukan? (Selesai)



Kumpulan Doa Dalam Alquran & Hadits

Judul: Kumpulan Doa Dalam Alquran & Hadits
Bahasa: Indonesia
Penterjemah : Mahrus Ali
Lampiran Materi : 2
Diskripsi Singkat: Buku ini memuat do'a-do'a yang dikumpulkan dari Al Quran dan Sunnah yang shahih dari Nabi saw. Yang sangat layak bagi setiap muslim untuk mengetahui dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Jumlah Kunjungan: 213156

Lampiran Materi ( 2 )
1.
Kumpulan Doa Dalam Alquran 'amp; Hadits.pdfKumpulan Doa Dalam Alquran & Hadits
1.4 MB
Download Materi: Kumpulan Doa Dalam Alquran 'amp; Hadits.pdf: Kumpulan Doa Dalam Alquran 'amp; Hadits.pdf
2.
Kumpulan Doa Dalam Alquran 'amp; Hadits.docKumpulan Doa Dalam Alquran & Hadits
8.2 MB
Download Materi: Kumpulan Doa Dalam Alquran 'amp; Hadits.doc: Kumpulan Doa Dalam Alquran 'amp; Hadits.doc



"Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui" Surah : Al-Baqarah 2:22